14. Mall

53.6K 5.1K 163
                                    

Tubuh Anye bergerak pelan. Bibirnya bersenandung pelan dan tangannya bergerak menepuk punggung Ara. Ara sendiri telah terlelap di gendongannya. Anye harus menggendong Ara begini karena anak itu menangis sebab blueberry cheesecake miliknya yang dimakan Arsen.

Sebenarnya Arsen telah berusaha untuk menebus kesalahannya. Dia keluar dan mencari kue yang sama di toko kue favorit Ara itu. Sayangnya, tidak ada satupun cabang toko kue di dekat rumah mereka yang masih memiliki blueberry cheesecake. Kue itu merupakan produk best seller dan hanya tersedia dalam jumlah terbatas setiap harinya.

Yakin bahwa Ara telah terlelap, Anye perlahan menurunkannya ke ranjang. Dia harus sangat berhati-hati dalam tahap ini. Sejak Ara bayi, dia jarang terbangun karena suara keras. Tapi sekali saja tubuhnya menyentuh kasur, dia bisa terbangun tiba-tiba.

Anye mengusap mata Ara yang masih sedikit basah. Kemudian dia merapikan anak rambut Ara yang menempel di dahi. Anye menghela nafas pelan. Melihat anak menangis seperti ini secara tidak langsung membuat dadanya sesak.

Setelah menyelimuti Ara, Anye mengecup putrinya pelan dan keluar dari kamar. Anye sedikit terkesiap saat mendapati Arsen di luar kamar Ara. Laki-laki itu bersandar di dinding sebelah pintu kamar sembari melipat tangan di dada.

"Ara udah tidur?"

"Udah."

"Maaf, aku nggak nemu kuenya."

"Nggak apa-apa, lagian kamu juga udah nyariin, kan," jawab Anye sambil berjalan ke arah kamarnya.

Anye memijit tangannya yang terasa pegal. Ara sekarang jauh lebih besar dan berat. Menggendongnya selama itu tentu melelahkan bagi Anye.

Meja kerja di kamarnya menjadi tujuan utama Anye. Sudah terlalu malam, tapi sepertinya dia masih sempat untuk mengerjakan satu laporan lagi. Tangan Anye memegang kursi kerja dan hendak menariknya, namun ada tangan lain yang menahan.

Anye menoleh ke Arsen di belakangnya. Arsen menahan kursi dengan tangan hingga Anye tidak bisa menariknya.

"Mas?"

Arsen merapat ke Anye. Dia kemudian melingkarkan tangan erat ke perut Anye. Sementara itu, kepalanya ia taruh di pundak Anye. Pelukan Arsen yang intens dan tiba-tiba ini membuat Anye menelan ludah.

"Kamu mau ngapain?"

"Ha?" Anye melirik ke Arsen, lalu langsung menatap meja kerja saat menyadari Arsen menatapnya dalam. "Aku mau nyelesaiin laporan."

"Harus sekarang?"

"Cuma satu, kok. Sebentar aja."

"Ngapain sih kerja ngotot kayak gitu?"

"Aku kan udah bilang kalau aku harus dapetin promosi ini, Mas. Kalau aku nggak serius kerja, bisa-bisa orang lain yang gantiin Pak..."

"Kurang serius apa, sih? Kamu pikir aku nggak tahu kalau kamu sering bangun tengah malem buat kerja? Buat apa, sih? Harus banget dapet promosi itu?"

"Buat karir aku, Mas."

"Ya buat apa?" Arsen melepas pelukannya hingga kini mereka berdiri berhadapan. "Kalau kamu ngejar uang, aku rasa nggak usah. Aku lebih dari mampu buat ngasih kamu uang, Nye."

Anye menunduk. Dia tidak munafik jika uang menjadi salah satu faktor dia bekerja seperti ini. Terkadang Anye merasa lebih lega jika dapat membeli barang untuknya atau Ara tanpa menggunakan uang Arsen. Tapi tentu saja bukan itu alasan utamanya.

"Kamu bahkan sampai ninggalin runah cuma buat kerja," ucap Anye pelan, tapi masih dapat didengar Arsen.

"Kita beda, Nye. Aku punya tanggung jawab besar sama kerjaan aku. Tanggung jawab kamu cuma antara kamu dan perusahaan. Tapi kalau aku, tanggung jawabnya ke perusahaan, ke orang tua aku, ke karyawan aku, bahkan ke kamu sama Ara." Arsen menghela nafas pelan. "Lagian sekarang juga aku nggak segila dulu, kan?"

Fam-ilyTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang