53. Dinner

41.5K 4.8K 360
                                    

Beberapa bulan lalu sebelum pindah, Anye punya kekhawatiran besar. Kekhawatiran itu terutama tentang kemungkinan jika Ara bertemu dengan Arsen. Bagaimana dia menjelasjan pada Ara, bagaimana Arsen akan bersikap, bagaimana dirinya harus menahan emosi pada Arsen, semuanya memenuhi pikiran Anye. Tapi siapa sangka, sekarang Anye malah makan malam berdua dengan Arsen.

Hubungan Arsen dan Ara berjalan baik, bahkan jauh lebih baik dari yang Anye kira. Amarah yang selama ini Anye pendam untuk Arsen juga mereda. Malah, belakangan Anye merasakan letupan-letupan kecil setiap bersama dengan Arsen.

"Ini kamu pasti suka."

Arsen membawa semacam puding yang baru dia ambil dari kulkas. Tidak lupa Arsen memberi vla dan stroberi sebagai pemanis. Hari ini mereka berdua makan malam di rumah Arsen. Meja makan panjang diganti dengan meja makan bulat oleh Arsen, dengan hiasan lilin dan bunga di atasnya. Anye pikir Arsen akan menyewa koki atau memesan makanan, ternyata pria itu memasak sendiri makanan yang mereka santap.

Anye tidak bisa mengelak bahwa ini menyenangkan. Maksudnya, sebelah mana dari melihat Arsen memasak dengan lengan kemeja digulung yang tidak menyenangkan? Tubuh Arsen yang masih atletis bergerak lincah memasak makanan mereka. Anye tahu sejak dulu Arsen memang bisa memasak, tapi dia lupa jika masakan Arsen seenak ini. Ditambah lagi dia memiliki privilege melihat Arsen memasak.

"Enak?" tanya Arsen yang masih belum menyendok dessert-nya.

Anye menyipitkan mata, berusaha merasakan makanan di mulutnya.

"Enak, kok. Ini puding apa?"

"Peach, terus aku kasih lemon agak banyak. Manis tapi masih segar, kan?"

Anye mengangguk setuju, lalu menyendok kembali pudingnya.

Mata Anye meneliti isi rumah yang pernah ditinggalinya dulu. Rumah ini cukup besar, tapi memang tidak sebesar rumah orang tua Arsen. Anye sendiri yang meminta rumah ini agar dia lebih mudah mengaturnya.

"Kamu nggak pernah renovasi rumah, ya?"

"Kenapa direnovasi? Nggak ada yang rusak."

Arsen ikut menatap ke arah tatapan Anye.

"Ya nggak harus nunggu rusak. Renovasi rumah kan bisa aja cuma biar ganti suasana. Paling nggak wallpaper rumahnya kamu ganti."

Arsen mengulum senyuman miring.

"Justru itu tujuannya. Kalau aku renovasi nanti... Hilang dong."

"Apanya?"

"Kenangan kamu sama Ara di sini."

Anye mengerjapkan mata pelan. Dia menghela nafas lembut sebelum kembali  menyendok.

"Kamu bisa bangun kenangan baru sama orang lain. Kan sama aja."

"Beda dong, Nye. Kan nggak ada kamunya."

Anye menaikkan salah satu alisnya skeptis.

"Bisa nggak kamu berhenti ngomong kayak tadi?" tanya Arsen lirih.

"Kayak tadi gimana?"

"Yah... Nyuruh aku sama orang lain, nanyain perempuan lain, seolah-olah aku tuh masih suka main perempuan. Harus berapa kali aku bilang kalau aku nggak pernah sama perempuan lain selain kamu sejak kita nikah sampai sekarang. Bahkan aku juga udah ngelamar kamu lagi. Masih ragu?"

Anye mendorong piring kosongnya pelan. Diambilnya tisu untuk mengelap ujung bibir. Anye hanya bisa terdiam mengingat masalah lamaran. Sudah hampir satu bulan dan Anye belum juga memberi jawaban.

"Kalau... Emm... Ini masih kalau. Tapi kalau aku nerima lamaran kamu, aku bingung gimana ngomong ke Ara."

"Tinggal bilang kalau kita mau balik kayak dulu. Bukannya kamu yang bilang kalau Ara mau kita balik kayak dulu lagi?"

Fam-ilyTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang