Tubuh Arsen reflek tersentak. Dari kaca kecil di pintu ruang rawat, Arsen dapat melihat Ara yang terduduk dan muntah. Wajah Ara tampak pucat dengan kepala masih diperban. Di dalam ruang rawat itu, Ara hanya ditemani Anye dan Citra.
Ara gagar otak sedang. Benturan di kepalanya membuat gadis itu mendapat beberapa jahitan. Ada rasa perih di dada Arsen saat melihat sebagian rambut gadis itu dicukur. Kalau saja Arsen tidak lalai waktu itu, mungkin putri kecilnya tidak akan berakhir di ranjang rumah sakit seperti sekarang.
Hal yang paling menyakitkan, Anye melarang Arsen untuk masuk ke ruang rawat Ara. Amarah Anye masih bertahan hingga Ara keluar dari ruang operasi. Tidak mau membuat keributan, Arsen akhirnya mengalah.
Arsen berjalan lunglai ke kursi tunggu tidak jauh dari ruang rawat Ara. Sejak tadi, yang dilakukannya hanya bolak balik duduk berdiri untuk melihat kondisi Ara. Meski hanya dari kaca, setidaknya Arsen bisa melihat kondisi putrinya.
"Ngapain kamu di sini?"
Arsen mendongak dan mendapati Anye memandangnya tajam. Laki-laki itu kemudian berdiri.
"Ara masih muntah?"
"Nggak usah sok peduli."
Arsen menahan tangan Anye yang hendak pergi.
"Nggak mungkin aku nggak peduli sama kondisi Ara."
"Kalau sejak awal kamu peduli, Ara juga nggak akan kayak gini."
Anye melirik ke sekitar mereka untuk memastikan jika mereka tidak mengganggu orang lain.
"Kamu dari kemarin selalu nyalahin aku. Bahkan aku masuk pun nggak boleh. Kalau mau main salah-salahan, kamu juga salah di sini."
Alis Anye bertaut. Apa katanya? Ia bersalah?
"Jangan nyalahin orang. Selama ini aku selalu jagain Ara dan dia baik-baik aja. Sekarang aku ninggalin dia sama kamu sekali dan dia kayak gini. Kamu mau nyalahin aku?"
"Ara nggak akan kayak gini kalau mamanya nggak sibuk selingkuh sama laki-laki lain."
"Maksud kamu apa ngomong kayak gitu? Aku nggak selingkuh..."
"Aku punya buktinya, Anye," potong Arsen. "Bisa-bisanya kamu ninggalin Ara pakai alasan kerja padahal kamu peluk-pelukan sama laki-laki lain."
"Aku nggak pernah ngelakuin itu."
"Oh, lupa? Lupa udah pelukan sama Farel di kantor?"
Anye terdiam. Ditatapnya Arsen yang masih memegang tangannya. Dengan gerakan pelan, Anye melepas tangan Arsen dari tangannya.
"Kenapa diem? Nggak nyangka kalau ketahuan?"
Anye masih tidak menjawab. Pandangannya kini jatuh ke bawah. Anye tidak tahu apakah ini saat yang tepat untuk berbicara.
"Nggak ngerasa bersalah kamu, Nye? Anak kamu terluka sementara kamu senang-senang sama cowok lain. Aku emang salah karena nggak ngawasin dia, tapi itu juga karena aku dapet kiriman bukti istri aku selingkuh. Kamu Farel..."
"Aku sama Farel nggak selingkuh," ucap Anye dengan suara tertahan. Dia tidak ingin kembali membuat keributan.
"Kamu masih ngelak? Aku masih punya, lho, foto kalian pelukan. Mana yang katanya rapat? Rapat tapi peluk-pelukan di kantor? Emangnya wajar rekan kerja kayak gitu? Kalau bukan selingkuh namanya apa? Kamu..."
"Farel adik aku!"
Anye menghela nafas. Tangannya bergerak menyugar surainya frustasi. Kata-kata itu akhirnya meluncur dari mulutnya ke telinga Arsen.
Arsen yang baru memproses ucapan Anye menggeleng pelan. Bibirnya kemudian naik membentuk senyum miring.
"Ada banyak alasan lain yang bisa kamu pakai, tapi kenapa kamu pakai alasan nggak masuk akal itu?" Arsen menggeleng pelan. "Adik? Aku kenal kamu dan masa lalu kamu. Kamu dibuang di panti dari bayi. Orang tua kamu aja nggak tahu di mana. Terus Farel apa? Adik kamu? Adik di panti asuhan? Adik-adikan?" lanjut Arsen dengan tatapan tajam.
KAMU SEDANG MEMBACA
Fam-ily
General FictionAlasan Arsen menikahi Anyelir adalah kehadiran bayi mungil yang masih merah itu. Jika tidak ada dia, mungkin Arsen telah melupakan Anye dan mencari perempuan lain. Namun Arsen lupa bahwa kehadirannya bukan hanya dibutuhkan di mata hukum. Arsen lupa...