"Cepetan ya, katanya Ara harus berangkat lebih awal hari ini."
Arsen tersenyum saat merasakan kecupan di pipinya. Saat ia menoleh Anye sudah berjalan keluar kamar. Arsen mempercepat gerakannya mengancingkan lengan kemeja. Setelah selesai, Arsen mengambil tas dan menyusul Anye ke lantai bawah.
Suara obrolan antara Ara dan Anye terdengar sejak Arsen menuruni tangga. Bibir Arsen tersenyum mendengar suara dua orang yang paling dia cintai itu. Arsen memilih berhenti di tangga sejenak demi melihat Ara dan Anye.
Beberapa tahun lalu Arsen masih terbaring di rumah sakit. Dia lemah, tidak bisa apa-apa, dan tidak punya siapa-siapa. Arsen bukannya tidak menganggap bantuan dari Dafi dan keluarganya, tapi Arsen benar-benar merasa sendirian saat itu. Rasanya Arsen hampir menyerah dan berhenti menantikan donor yang sesuai untuknya. Tapi siapa sangka, Arsen kini bisa bersatu lagi dengan keluarganya.
"Papa kok lama banget sih?"
Arsen tersadar dari lamunan saat Ara memanggilnya. Arsen tersenyum dan segera menghampiri putrinya itu. Arsen mengecup kepala Ara lembut sebelum ikut duduk di meja makan. Hari ini Anye hanya membuat roti bakar, tapi itu saja sudah cukup membuat Arsen senang.
"Nanti kamu pulang jam berapa, Mas?" tanya Anye.
"Agak sorean soalnya ada rapat tambahan di divisiku. Tapi semoga nggak sampai malam."
"Kalau gitu nanti malam kita makan di luar, ya? Mumpung hari ini Ara mau nginep rumah temennya. Kamu nanti ke restoran langsung dari kantor aja."
Arsen melirik ke Ara yang tersenyum mengingat agendanya hari ini.
"Restoran mana?"
"Nanti aku chat ke kamu ya, habis ini baru mau aku booking."
Anye menyodorkan kotak bekal untuk Ara. Arsen tidak pernah membawa bekal karena dia tidak tahu apa yang terjadi. Seringkali Arsen harus bertemu klien mendadak di jam makan siang, jadi dia takut bekalnya tidak akan termakan.
Arsen melahap habis roti bakar miliknya, lalu berdiri. Ara yang sudah menunggu dari tadi pun ikut berdiri. Gadis itu menyalami Anye, lalu berlari keluar mendahului Arsen.
"Hati-hati," ujar Anye saat menyalami tangan Arsen.
"Kok cuma tangannya doang yang dicium?"
"Maksudnya?" Anye menaikkan salah satu alisnya.
"Tadi di atas kamu cuma cium pipi kiri, pipi kanan aku belum. Atau kamu mau cium yang tengah?"
"Apaan, sih!"
Anye memukul lengan Arsen dan mendorong laki-laki itu pelan.
"Nggak malu dilihat anaknya?"
"Ara udah ke mobil, Nye."
"Ck! Nanti aja ah! Kasihan tuh Ara udah nungguin."
"Beneran ya? Nanti ya? Nanti malam awas kalau..."
"Iya!"
Anye yang gemas terpaksa mendorong tubuh Arsen hingga keluar rumah. Pasangan suami istri itu saling tertawa menggoda. Anye hanya mengantar hingga pintu karena dia harus bersiap ke kantor. Tangan Anye melambai pada Arsen dan Ara yang sudah ada di dalam mobil.
Anye menghela nafas pelan. Senyum tipis muncul di ujung bibirnya.
"Semoga nanti berhasil, deh," ujar Anye lirih.
***
Arsen berlari dari parkiran ke dalam restoran. Dia terlambat setengah jam dari waktu yang dijanjikan Anye karena tiba-tiba saja ada keperluan di kantor. Arsen terburu-buru sampai lupa jika ponselnya tertinggal. Untunglah restoran yang Anye pilih cukup sering mereka kunjungi, jadi Arsen tidak susah menemukannya.
KAMU SEDANG MEMBACA
Fam-ily
General FictionAlasan Arsen menikahi Anyelir adalah kehadiran bayi mungil yang masih merah itu. Jika tidak ada dia, mungkin Arsen telah melupakan Anye dan mencari perempuan lain. Namun Arsen lupa bahwa kehadirannya bukan hanya dibutuhkan di mata hukum. Arsen lupa...