35. Happiness?

1.1K 125 24
                                    



Seingat Jungkook baru satu jam yang lalu mereka berdua menikmati kebersamaan, melewati detik demi detik dengan canda, tawa dan bahkan juga air mata. Tak ada yang tahu jika pada akhirnya takdir akan membawa mereka kembali di pertemukan.

Semua itu berawal dari sebuah pengakuan, saling memahami diri satu sama lainnya. Tentang bagaimana Jungkook menjalani kehidupannya seorang diri sepanjang waktu begitu pun dengan Jimin yang dengan terpaksa harus menghabiskan hari-harinya dari balik ruangan sempit dan juga pengap di rumah sakit jiwa.

Sedikit banyaknya itu semua membuat mereka jadi lebih mengerti akan kehidupan yang ada, apa saja yang bisa di petik dan kemudian di jadikan sebagai bahan pelajaran untuk menyongsong kehidupan yang jauh lebih baik dari hari ini.

"Aku tahu kita berdua saling merindukan satu sama lainnya. Tetapi bukankah kita tidak seharusnya melakukan hal ini di hari pertama kita? Kau tahu, ada begitu banyak hal yang ingin aku lakukan bersamamu. Aku ingin kita pergi ke suatu tempat dimana kita berdua bisa melihat bintang dan juga bulan dari jarak dekat."

Kedua bola mata indah yang tadinya terpejam kini mulai menampakkan pesonanya kembali. Jungkook tidak bisa untuk tidak memuja Jimin barang sedetik pun. Ia ingin memiliki pria manisnya itu di sepanjang sisa umurnya di dunia. Tidak banyak, tidak. Jungkook bahkan tidak memikirkan permintaan lainnya selain bisa hidup bersama Jimin. Ia hanya ingin agar pria cantik itu tetap tinggal di sisinya. Menemaninya melewati hari-hari yang begitu berat dan juga melelahkan bagi jiwa dan juga raganya yang amat sangatlah rapuh.

Setiap hari tidaklah pernah mudah untuk Jungkook jalani sendirian namun berkat kehadiran Jimin kembali di dalam hidupnya semua kesulitan itu kini berubah menjadi hal yang paling menyenangkan untuknya


"Maafkan aku, seharusnya aku tidak melakukannya padamu. Padahal bisa saja aku menahan diriku untuk tidak... " jari mungil Jimin mencegah Jungkook untuk kemudian kembali meneruskan ucapannya. Sebuah jari telunjuk yang amatlah cantik. Bagi Jungkopk tidak ada satupun bagian dari diri Jimin yang tidak indah baginya. Itu terlihat seperti pria mungil kesayangannya itu menyimpan sejuta pesona di dalamnya dirinya. Pesona yang hanya bisa Jungkook nikmati seorang diri. Semua keindahan yang ada pada Jimin adalah miliknya dan sampai kapanpun Jungkook tak akan pernah rela membagi keindahan itu dengan orang lain.

"Tidak! Jangan berbicara seperti itu. Karena kita berdua sama-sama menginginkannya. Itu sudah menjadi kewajibanku, apa kau lupa kalau aku ini masih istrimu, hmm?" Jimin yang awalnya berhadapan dengan Jungkook kini memilih untuk membelakangi pria itu. Wajahnya cemberut dan bibirnya mengerucut yang dimana semua tindakan menggemaskannya itu di saksikan oleh Jungkook yang tak pernah bosan-bosan nya memerhatikan dirinya sejak awal pria itu membuka matanya pada pagi hari. Bohong jika Jimin bangun terlambat karena nyatanya ia lebih duluan bangun daripada Jungkook. Sebenarnya tadi itu ia hanya berpura-pura tidur karena merasa penasaran dengan kebiasaan yang Jungkook lakukan setiap pria itu bangun pagi. Dan hasilnya ternyata masih sama, pria itu tidak pernah mengubah kebiasaan lamanya, menatap wajahnya kala ia terlelap. Jimin senang karena pria itu
tidak berubah, masih sama seperti Jungkook yang ia kenal dulu.


"Baiklah, kalau begitu aku mengaku bersalah. Kau boleh memarahiku atau apapun itu, terserah. Aku pasrah. " dua sudut bibir Jimin mengembang, ia dengan cepat membalik tubuhnya menghadap Jungkook. Namun hal tak terduga pun terjadi, tubuh Jungkook tiba-tiba saja terlonjak keras dan beberapa detik setelah itu ada darah yang mengalir keluar dari dalam hidungnya. Jimin yang awalnya tersenyum lebar dalam sekejap mata langsung menangis. Ia mendadak panik dan tidak tahu harus melakukan hal apa untuk kemudian membuat keadaan pria kesayangannya jadi jauh lebih baik.

"J-jungkook, ada apa denganmu. Hiks... Hiks, apa yang harus aku lakukan. Hiks... Hiks... " Di tengah serangan kepanikan yang melanda dirinya, Jimin bergerak turun dari ranjang dan mengambil ponsel Jungkook di atas meja. Tanpa basa-basi ia langsung mendial nomor panggilan darurat untuk kemudian mengerahkan bala bantuan. Setelah panggilan itu tertutup, dengan tergesa Jimin kembali menaiki dan meraih tubuh prianya untuk ia dekap ke dalam pelukannya. Jimin menangis histeris, tidak ingin segala sesuatu yang buruk menimpa Jungkook. Tidak! Itu tidak boleh terjadi. Mereka berdua bahkan baru belum lama bersama, jadi tolong katakan mengapa ia dan Jungkook harus kembali merasakan kepahitan di dalam hidup mereka. Sebentar saja, tidak bisakah ia merasakan kebahagiaannya itu sedikit lebih lama lagi?
Bukankah ini benar-benar tidak adil?

"J-jungkook! Hiks... Kumohon tetap buka matamu. Sebentar lagi kita akan kerumah sakit. Hiks... Hiks... Bertahanlah demi aku" Wajah Jungkook kian bertambah pucat, karena saking takutnya Jimin bahkan harus hati-hati memasangkan pakaian Jungkook kembali.

"Tidak, kumohon berhentilah menangis, sayang. Jangan terlalu mengkhawatirkanku. Aku baik-baik saja. "
Tangan yang begitu lemah tetap ia paksakan untuk betgerak, Jungkook hanya tidak suka melihat air mata membasahi pipi gembil pria kesukaannya.

"Baik-baik apanya, apa yang kau pikir sedang kau katakan?pokoknya aku tidak akan memaafkan diriku sendiri jika terjadi sesuatu pada dirimu." Jungkook tersenyum tipis, setidaknya di saat-saat seperti ini ia punya Jimin untuk menemani dirinya. Ini memang bukan kali pertamanya bagi Jungkook namun setidaknya ia merasa sedikit lebih lega karena bisa melewati rasa sakitnya itu bersama Jimin.


Kelopak mata kian menyayu, seperti seluruh energi di tubuhnya di hisap begitu saja. Tidak! Jungkook tidak ingin berakhir menyedihkan seperti ini. Apakah Tuhan bahkan tidak sudi untuk mengabulkan permintaan terakhirnya ini, apakah ia sebegitu tidak layaknya untuk menikmati kebahagiaan. Ia hanya ingin membuat Jimin bahagia dan berkata jika ia tidak pernah merasa menyesal telah memiliki dirinya sebagai seorang suami.



"Kumohon jangan menangis lagi, Jimin. Karena kau pantas bahagia. Berjanjilah padaku jika kau akan hidup bahagia bahkan di saat aku sudah tidak ada lagi. Tolong buat aku percaya padamu."





Tbc.

Gak ingat kapan terakhir aku up cerita ini😊







Can I Make You Love Me? (Dalam Tahap RevisiTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang