Jungkook berlari di sepanjang Koridor rumah sakit dengan Jimin yang berada di dalam gendongannya. Suhu tubuh pria itu semakin menurun dari waktu ke waktu. Membuat Jungkook perlahan mulai khawatir dan juga menangis, berteriak memanggil perawat agar membawakan brankar untuk pria mungil kesayangannya itu.
"Perawat atau siapapun itu, tolong cepat bawakan brankar untuk istriku. Aku tidak ingin membiarkannya kesakitan lebih jauh daripada ini. Jadi kumohon tolong bantu kami." Para perawat yang kebetulan melintas di area itu dengan cepat kemudian berlari dan mendorong brankar itu secara bersama-sama. Saat brankar telah siap, Jungkook segera membaringkan tubuh Jimin di atasnya. Memastikan posisinya kembali dan tak lupa memberikan kecupan di kening dan juga kedua tangan pria cantiknya itu. "Sayang, kumohon bertahanlah." Menjadi kalimat terakhir yang Jungkook katakan sebelum akhirnya brankar Jimin di dorong masuk ke dalam ruangan pemeriksaan.
Lutut Jungkook mendadak terasa lemas, tubuhnya merosot ke bawah lantai. Sekarang ia hanya sendirian. Tidak memiliki teman ataupun kerabat dekat yang bisa ia jadikan sebagai tempat sandaran bagi tubuhnya begitu rapuh. "A-apa yang harus kulakukan. Kepada siapa aku harus nengadu di saat aku bahkan sudah tidak memiliki orang yang bisa aku andalkan selain Jimin. Hiks...hiks..." di tengah kegelisahan hatinya, tiba-tiba saja datang seorang pria dengan kulit pucat yang kemudian tanpa aba-aba langsung menariknya ke dalam sebuah pelukan hangat.
"Yoongi hyung. Hiks...hiks...t-terima kasih karena sudah mau datang kemari. Tadinya aku sempat berpikir tidak akan ada orang yang akan memedulikan kami. Tapi aku lega akhirnya kau ada disini bersamaku." Punggung Jungkook diberi tepukan pelan, Yoongi tahu betul seberapa khawatirnya pria itu melihat kondisi Jimin. Jadi sebisa mungkin Yoongi akan memberikan penghiburan agar Jungkook tidak merasa bahwa saat ini ia hanya sendirian.
"Harusnya kau memberitahuku lebih awal, Jungkook. Karena walau bagaimana pun juga aku dan Jimin adalah teman dekat. Mungkin aku tidak akan tahu apa-apa andai saja Seokjin Hyung tidak segera menghubungiku saat Jimin masuk ke rumah sakit."
Dahi Jungkook mengerut, diam-diam mempertanyakan sedekat apa hubungan antara Yoongi dan juga Kim Seokjin, dokter yang menangani Jimin di rumah sakit ini. Apa mungkin mereka berdua sudah sejak lama mengetahui tentang penyakit yang diderita oleh Jimin. Tapi kenapa mereka memilih untuk menyembunyikan semua ini darinya.
"Sejak kapan hyung tahu tentang penyakit Jimin? Katakan alasan mengapa hyung menyembunyikan ini dariku. Hyung tahu kalau aku suaminya tapi kenapa hyung tidak memberitahuku."
Yoongi yang semula memasang wajah tenang seketika langsung berubah panik saat pria itu tiba-tiba
memberondonginya dengan berbagai macam pertanyaan. Bahkan karena saking tidak tahunya harus memberikan jawaban apa, Yoongi sampai melepaskan pelukannya pada pria itu dan memilih untuk memundurkan tubuhnya ke belakang. Inilah saat yang paling Yoongi benci, karena ia harus memberikan penjelasan atas banyaknya kebohongan yang telah ia dan Jimin perbuat. Sebenarnya Yoongi tidak suka berbohong tapi ia terpaksa harus melakukan semua ini karena merasa tidak tega melihat Jimin yang datang dan kemudian berlutut di hadapannya. Memintanya untuk tetap menutup mulut dan tidak memberitahu apapun tentang penyakitnya pada Jungkook."M-maafkan Hyung, Jungkook. Hyung tahu tidak seharusnya Hyung melakukan ini tapi mau bagaimana lagi, Hyung terpaksa membohongimu karena tidak tega melihat Jimin menangis."
Jungkook menangis dalam diam. Andai saja ia tahu tentang ini lebih awal, mungkin Jimin tidak akan sesakit ini. Ia juga bisa membawa Jimin ke luar negeri untuk melakukan pengobatan. Jungkook sama sekali tidak peduli dengan besarnya biaya rumah sakit asalkan pria itu bisa sembuh dan kembali seperti sedia kala. Jiminnya layak untuk berbahagia dan menjalani kehidupan yang jauh lebih baik daripada ini.
"Andai saja hyung memberitahuku lebih cepat. Mungkin Jimin tidak harus menderita seperti ini. Hiks... Hiks..." Di tengah kegalauan hati mereka tiba-tiba saja pintu ruangan Jimin terbuka dan menampilkan dokter yang kemudian menundukkan wajahnya ke bawah. Kim Seokjin tertunduk lemas. Tidak sanggup melihat wajah dari kedua pria yang kini berada di depannya.
Jungkook buru-buru menghampiri Seokjin, berniat untuk menanyakan mengenai perkembangan kondisi Jimin" Dokter, bagaimana keadaan istri saya?" namun yang ditanya malah terdiam di tempatnya.
Yoongi tidak jauh berbeda dari Jungkook, pria itu langsung memborbardir Seokjin dengan berbagai pertanyaan seputar kondisi Jimin tapi tetap saja Seokjin memilih untuk diam dan tidak memberikan jawaban lain selain "maafkan aku."Jungkook menggelengkan kepalanya, ia membuat dirinya seolah-olah tidak mendengar apa yang baru saja dikatakan oleh pria di hadapannya itu. Jungkook tidak akan mempercayai siapapun sebelum ia melihat sendiri seperti apa kondisi Jimin.
Maka dari itu ia pun segera berlari kedalam ruangan untuk memastikan semuanya. Berteriak histeris begitu mendapati tubuh Jimin telah terbujur kaku di atas tempat tidur dengan kain putih yang menutupi dada hingga ke ujung kakinya."Tidak, ini tidak mungkin. Aku pasti sedang bermimpi." Yoongi yang berada di samping Jungkook ikut menangis saat melihat bagaimana pucatnya warna kulit Jimin saat ini. "Hyung, tolong katakan padaku jika semua ini hanyalah mimpi. Pukul aku, agar aku tahu jika semua ini tidak benar-benar terjadi. Jimin tidak akan mungkin meninggalkanku, Hyung. Tidak mungkin. Hiks... Hiks..." Yoongi memeluk Jungkook, berusaha keras untuk menahan pria itu untuk tidak mengamuk di dalam ruangan. Yoongi tahu jika Jungkook sama sekali belum siap dengan kenyataan yang ada di depan mata mereka tapi bukanlah ini sudah menjadi jalan yang paling terbaik bagi Jimin. Karena setidaknya saat ini pria itu sudah tidak merasakan rasa sakit lagi. Jimin sudah terbebas dengan segala bentuk penderitaan yang ia alami selama ini. Dan sekarang pria itu sudah tenang tanpa perlu mengingat kembali rasa sakit di sekujur tubuhnya.
"Aku tahu jika semua ini begitu berat untuk bisa kau terima tapi kau harus mengikhlaskan kepergian Jimin." Jungkook menggelengkan kepalanya, berusaha melepaskan pelukan Yoongi pada tubuhnya. "Tidak! Sampai kapanpun aku tidak akan merelakan kepergian Jimin, hyung. Hyung bisa mengatakan semua itu dengan mudah karena Hyung tidak akan pernah tahu bagaimana rasanya berada di posisiku."
Jungkook kembali mendekati ranjang, ingin melihat wajah cantik pria itu lebih lama. "Hiks...hiks... Memangnya aku bisa apa jika kau tidak ada disini, sayang. Aku benar-benar tidak menyangka jika kau akan pergi secepat ini. Harusnya kau menungguku mati agar kita bisa pergi bersama-sama. Hiks... Hiks..." Jungkook mengecup jari manis Jimin, dimana cincin pernikahan mereka masih melingkar. Jungkook tidak tahu jika kehilangan Jimin berarti ia kehilangan seluruh semangat hidupnya. Setelah semua ini selesai, apa yang harus ia lakukan. Jungkook tidak berpikir jika dirinya cukup berarti untuk kemudian bisa tetap bertahan hidup. Lagipula Jimin sudah tidak ada disini. Jadi untuk apa ia harus hidup di dunia ini. Jika Jimin telah membawa pergi separuh dari nafasnya.
Tbc.
Tbc.
KAMU SEDANG MEMBACA
Can I Make You Love Me? (Dalam Tahap Revisi
FanfictionJimin adalah istri yang sempurna di mata Jungkook, cantik dan juga sangat populer. Namun berkat popularitas yang di raihnya itu membuat Jimin justru jadi kurang memperhatikan Jungkook dan juga rumah tangga mereka. Sanggupkah Jungkook membuat Jimi...