Saat ini aku sedang menunggu Bojo jemput setelah dua hari sebelumnya absen karena lembur. Hampir seharian aku memikirkan ucapan temanku yang menawarkan lanjut S2. Aku masih bimbang. Disatu sisi, salah satu impianku adalah bisa lanjut pendidikan diluar negeri namun disisi lain, aku nggak mungkin ninggalin suamiku dong!
Dimobil..
"Hey love, how's your day?" tanyaku saat memasuki mobil
"Hectic kayak kemarin tapi udah bisa terkendali kok. Kamu gimana?"
"Lancar dong."
Lalu keheningan menyelimuti kami. Aku dan Bojo memang seperti itu. Sedikit berbicara kalau lelah atau banyak pikiran.
"The Weeknd?"
"Sure, hehe."
"Mau yang mana?"
"Save your tears, please."
Saat lagu tersebut baru berjalan beberapa detik..
"Boleh cerita apa yang lagi kamu pikirin?" Pertanyaan Bojo menyentakku kembali pada kenyataan. Apa aku se-transparan itu? Atau dia yang sudah terlalu mengenalku?
"Bojo."
"Hm?"
"Kalo....aku lanjut S2 boleh, ndak?"
"Astaga jadi daritadi kamu mikirin itu, sayang?"
Kelegaan dari wajahnya terlihat saat aku meluapkan perasaanku.
"Kalo kamu izinin, aku mau ambil scholarship ke luar negeri."
Senyumnya lenyap dan keheningan kembali menyelimuti. Aku nggak bisa liat jelas bagaimana ekspresinya. Feeling ku nggak enak.
"Hari ini makan malam diluar, ya"
Bukannya merespon pernyataanku sebelumnya, Bojo malah mengalihkan topik. Tak ada yang bisa ku lakukan selain mengiyakan perintahnya.
.
Sampai makan malam selesai, Bojo nggak ada barang satupun berbicara padaku. Biasanya kami banyak cerita bahkan sampai kamar untuk istirahat, kami masih menyambung cerita yang dimeja makan. Se-seru itu ceritanya. Namun kali ini berbeda.
"Bojo."
Panggilanku membuat langkahnya menuju kamar terhenti dan menoleh padaku.
"We need to talk."
Tak ada sahutan darinya melainkan melanjutkan langkahnya menuju kamar.
.
Pemandangan pertama yang kulihat selepas membuka pintu ialah punggung lebar Bojo. Baru sedetik memeluknya namun justru malah Bojo menyentak tanganku dan berbalik kearahku.
"Cerita."
"Huh?"
"Coba cerita apa yang membuat kamu pingin ambil beasiswa keluar negeri."
Jujur, tatapan seperti ini merupakan tatapan yang sama saat aku nekat nonton konser ke Singapura. Beku, tajam dan menakutkan untukku.
Dengan perlahan, aku mulai menceritakan semuanya.
"Tadi siang aku dihubungi temen kampusku. Dia kerja dilembaga pengurus beasiswa. Dia sepertiku, pingin kuliah di LN. Tahun lalu dia pernah coba tapi nggak lolos. Terus mau coba lagi tahun ini. Dia ngajak aku karena aku pernah cerita sama dia tentang keinginanku ambil studi diluar. Aku juga udah pernah cerita ke kamu kan, tentang impianku itu? Karena keadaan aku yang sekarang udah beda, makanya aku harus izin sama kamu, boleh atau nggak."
Beberapa menit setelahnya tak ada jawaban darinya. Aku pun mengangkat wajahku, iya, tadi aku ceritanya sambil menundukkan kepala. Aku takut soalnya!!
Bojo terlihat berpikir keras seraya menatap lantai bawah kamar. Jadi deg-degan aku!"Aku nggak kasih izin."
Pundakku melemas seketika. Aku sudah menduga ini akan terjadi. Namun tak ku sangka Bojo langsung membulatkan tekadnya untuk tak mengizinkanku.
"Aku udah duga, sih, jawaban kamu akan begini."
"Aku bukannya melarang kamu untuk lanjut studi kamu. Tanpa beasiswa pun aku masih sanggup. Tapi harus di Jakarta."
Aku diam. Tak tau harus merespon apa. Jadi yang ku lakukan hanya mencubit-cubit sprei didepanku.
"Kamu tau nggak kenapa pas aku lamar kamu, aku menggunakan alasan biar ada yang mengurus aku secara proper? Karena memang faktanya seperti itu. Aku merasa 'diurus' sama Ibu ketika ada kak Anin dan Dinan aja. Tapi bukan berarti setelah mereka pergi, aku ditelantarkan–-nggak–-aku cuma nggak merasa ada sosok Ibu ketika aku sendiri. Nggak ada sosok yang bisa menopangku disaat aku down. Nggak ada seseorang tempatku berkeluh kesah."
"Permintaanku nggak muluk-muluk, kok. Aku cuma pengen perhatian-perhatian kecil seperti ditanya bagaimana hariku, mengelus kepalaku, atau bahkan memelukku. Apa itu berlebihan, Fa?"
Dadaku sakit banget dengarnya.
"Aku memang menceritakan banyak hal tentang kamu ke Ibu. Dengan harapan, Ibu akan berubah, Ibu akan kembali bersikap hangat sama aku. Ibu memang mendengar semua yang kuceritakan tentang kamu, tapi aku nggak melihat dan merasakan antuasias Ibu. Aku kayak ngomong sama robot. Mereka berubah. Ayah dan Ibu berubah hanya karena aku ambil jurusan yang bukan mereka inginkan. Apa aku salah kalo aku ikutin kata hatiku, Fa? Maaf aku baru cerita ini ke kamu karena kupikir selama ini aku masih sanggup nahan."
Bojo menundukkan kepalanya saat kulihat matanya yang mulai berkaca-kaca, juga suaranya yang mulai bergetar.
"Maaf aku egois. Aku nggak bermaksud menghalangi mimpi kamu. Tapi kenyataan nya aku butuh kamu. Kalo kamu pergi ak-aku nggak tau–-"
Tanpa menunggu menyelesaikan ucapannya, aku menarik Bojo kedalam pelukanku dan membiarkannya menumpahkan kesedihannya dipundakku.
Ya Tuhan, ternyata masih banyak cerita yang belum ku ketahui tentang pasangan hidupku ini.
"Luapin semuanya sekarang, ya. Tapi besok janji jangan nangis lagi."
Perlahan ku usap punggungnya yang bergetar.
"Kamu jug-juga janji jangan ning-ninggalin aku."
Mendengar tangisannya yang sesegukan itu, menambah tangisanku dibalik punggungnya. Sebisa mungkin aku harus kuat demi dirinya. Melihat sisi lain darinya, semakin meyakinkanku untuk menunda keinginanku.
"Iyaaa. Lagipula aku belum berniat ambil sekarang. Mungkin nanti. Udah bobo yuk, udah malem."
Tak ada bantahan darinya. Ia menjawab dengan anggukan. Kami pun tertidur dengan Bojo yang tertidur didadaku dan mata yang sembab.
Maaf hanya ini yang bisa kulakukan..
Foto yang kuambil tadi pas mam diresto setelah aku ngomongin scholarship. Lesu banget mukanya. Btw Bojo emang suka bawa kaus sama jaket dimobil. In case kalo kehujanan atau pergi mendadak.
(Maaf bawahnya ngeblur)
KAMU SEDANG MEMBACA
BOJO
FanfictionSekilas Cerita Kehidupan Rumah Tangga Tiffany Naditya Kusuma & Hanan Adityatama Erlangga.