Puncak Amarah

21 2 0
                                    

Pintu rumah dibuka oleh Ibu ketika aku dan Bojo sampai. Senyum lebar tersungging darinya melihat sang anak datang.

"Assalamu'alaikum, Bu."

Bojo berucap salam diikuti dengan salim, begitupun aku.

"Wa'alaikumussalam, Bang. Apa kabar kamu?"

Sudahkah ku beritau kalian bahwa Ibu mertuaku ini sangat cantik? Dari kali pertama aku datang sampai sekarang, wajahnya tak berubah. Like, she doesn't age.

"Baik Bu, Alhamdulillah. Ibu sama Ayah juga sehat, kan?"

"Kami sehat Alhamdulillah. Yuk, masuk."

Memasuki rumah, suasana sepi menghampiri.

"Ayah kemana, Bu?"

Bojo kembali bertanya.

"Jemput Anin sama Dinan, Bang."

Melihat raut wajah Bojo yang berubah, aku mencoba mengambil alih obrolan.

"Bu, aku sama Mas Hanan bawa ini buat Ibu hehe."

"Repot-repot kamu, Dek. Terima kasih, ya."

"Iya, Bu."

Tak berselang lama, terdengar suara gaduh yang kuyakini adalah Ayah, Kak Anin dan Dinan. Benar saja, saat melihatku Kak Anin berlari memeluk Ibu, aku dan terakhir Bojo.

"Berisi ya, lo sekarang. Makan sebakul ya, Dek" celetuk Kak Anin meledek Bojo sembari menaik-turunkan alisnya padaku.

"Dateng-dateng langsung body shaming ya, lo. Lo tuh, makin tipis."

Tabokan maut menjadi jawaban Kak Anin. Membuat Bojo sampai mengadu kesakitan. Ayah, Ibu dan aku bagian ketawanya.

"Woy brother, nggak mau peluk gue?"

Bojo bertanya pada Adik satu-satunya yang berdiri disisi Ayah. Kalian tau sendiri, kadang saudara laki-laki suka malu menunjukkan kerinduannya.

.

Suasana hangat menyelimuti ruang keluarga yang dapat kulihat dari dapur untuk membantu Ibu masak. Seharusnya ada Mbak Tarni selaku ART, namun karena beliau sedang ada urusan mendesak, jadi aku dan Ibu yang memasak.

Semuanya terlihat baik-baik saja sampai aku tak sengaja memergoki Bojo yang beberapa kali menghela nafas, menunduk, kemudian menatap Ayah, Kak Anin dan Dinan yang asik berbincang secara bergantian. Sebenarnya Ayah lebih banyak berbincang ke Dinan. Dari jauh pun aku dapat melihat tatapan Bojo yang berbeda.

Saat sibuk melihat Bojo, suara ibu menginterupsi.

"Dek, tolong ulek sambel, ya. Anin minta Ibu buatkan sambel."

"Iya, Bu."

Beberapa menit setelahnya, aku melihat seseorang berdiri dari sofa dan ternyata itu Bojo tengah berjalan kearah tangga dengan raut wajah yang bisa dibilang tak mengenakkan.

"Lo mau kemana, Bang?"

Kak Anin bertanya, namun tak ada sahutan dari Bojo yang terus berjalan dan detik setelahnya terhenti karena suara Ayah yang menggelegar.

"Ayah nggak pernah ajarin anak-anak Ayah untuk nggak sopan seperti itu, Bang."

Mau tak mau, Bojo harus berhenti.

"Maaf, Yah. Abang cuma mau ke kamar. Abang nggak mau ganggu obrolan kalian."

Bojo menjawab dengan wajah merahnya yang ku yakini sedang menahan emosi dan tangis. Tanpa menunggu, ia langsung kearah tangga yang akan mengantarnya ke kamar. Namun pada undakan tangga keempat, suara Kak Anin menginterupsi, membuat Bojo membeku ditempat.

"Ini semua salah Ayah."

"Kenapa jadi Ayah, Kak?"

"Karena Ayah terlalu banyak menuntut kami. Terutama aku dan Hanan. Ini alasan aku memilih ke Amerika. Supaya aku terbebas dari Ayah. Aku capek disetir Ayah terus. Aku harus begini, Aku harus begitu."

Dengan berapi-api, Kak Anin menyuarakan kekesalannya selama ini. Terlihat dari bagaimana ia berteriak dengan wajah merahnya.

"Seharusnya Ayah bersyukur Abang masih mau nurut perintah Ayah sampai saat ini. Ayah pikir aku nggak tau kalo sikap Ayah berubah ke Abang setelah Abang memilih untuk nggak masuk jurusan kuliah yang Ayah mau? Aku tau Yah, aku merasakan nya. Aku pikir Ayah akan berubah setelah aku dan Mas pergi, Ayah akan memperbaiki sikap Ayah. Tapi sepertinya nggak, ya? Yah, Abang juga–-"

"KAK, CUKUP!"

Bojo memotong dengan intonasi marah.

"Bang, gue ngomong fakta!"

"TAPI BUKAN BERARTI GUE BUTUH BELAS KASIHAN LO!"

"INI BUKAN BELAS KASIHAN. INI PEMBELAAN BUAT GUE SAMA LO. INI BENTUK PEMBERONTAKAN DARI APA YANG GUE DAN LO RASAIN SELAMA INI!"

"CUKUP!" sentak Ayah yang mencukup membuat Kak Anin dan Bojo berhenti adu mulut.

"Ayah punya alasan kenapa bersikap seperti itu. Ayah gak mau anak-anak ayah dipandang sebelah mata oleh orang lain. Cukup Ayah yang merasakan itu!
Asal kalian tau, Kakek kalian membenci Ayah karena Ayah memilih jadi pebisnis ketimbang pilot seperti kakek kalian inginkan. Ratusan cacian dan ribuan sumpah serapah sudah jadi makanan Ayah saat itu. Sampe akhirnya Ayah dibuang, diasingkan. Tapi Ayah bertahan untuk membuktikan kalo apa yang Ayah pilih itu benar. Ayah membangun perusahaan Ayah yang sekarang itu dengan makian dari keluarga Ayah sendiri. Itu sebabnya Ayah seperti ini. Kalian harus paham!!" terang Ayah yang membuat suasana semakin mencekam.

Takut semakin kacau, Ayah ditarik Ibu ke kamar, akupun melakukan hal yang sama pada Bojo. Meninggalkan Kak Anin yang menangis tersedu-sedu dengan Dinan yang mencoba menenangkannya.

.

Setelah menenangkan Bojo, aku keluar kamar. Ternyata Kak Anin masih disana. Aku pun mencoba menghampirinya.

"Kak."

"Hanan gimana?"

"Tidur, Kak."

"Sorry, Fa. Aku nggak maksud kacauin semuanya. Aku–-"

Sebelum tangisnya kembali pecah, ku peluk Kak Anin.

"Maaf, Fa."

Runtuh sudah pertahanan Kak Anin. Ia menangis keras dipelukanku.

Suasana makan malam berlangsung hening dan canggung. Setelah selesai, Bojo berucap,

"Bu, besok Abang sama Ifa mau pulang."

"Kok cepet banget, Bang? Kan seharusnya lusa. Kakak sama Adikmu juga baru sampe."

"Abang sama Ifa mau kerumah Bapak dan Mama."

Weh jadi menumbalkan Bapak dan Mama. Tadi perasaan nggak ada briefing begini.

"Tapi Ibu masih kangen Nak, sama kamu."

Mendengar kalimat Ibu, aku tak tega. Ku coba memberikan kode pada Bojo lewat tanganku mengelus tangannya dibawah meja. Belum sempat berucap, Ayah menginterupsi.

"Biarkan saja, Bu."

Kembali dikuasai emosi, Bojo menarik tanganku dari meja makan.

"Kami permisi."

.

"Bojo, Ibu masih kangen lho. Apa kamu tega?"

"Aku bisa minta Ibu ketemu diluar setelah pulang kerja. Asal nggak ketemu Ayah."

"Kamu nggak bisa selamanya bersikap seperti ini sama Ayah."

"Aku butuh waktu, Dek. Apa Ayah nggak ngerti kalo setiap anak memiliki kapasitas yang berbeda? Mungkin aku memang membangkang saat ambil jurusan kuliah. Tapi aku tetap tau diri, Dek. Begitu lulus, aku tetap kembali nurut perintah Ayah. Apa itu belum cukup?"

"Iya, Bojo aku paham. Tapi satu hal yang pasti, sikap Ayah yang seperti itu merupakan bentuk kasih sayang seorang Ayah terhadap anaknya. Mungkin cara Ayah salah, tapi diluar itu Ayah cuma pingin yang terbaik untuk anak-anaknya, sayang."

Hening kudapatkan usai berbicara demikian. Setelahnya kulihat Bojo tidur dengan punggungnya didepanku. Nggak papa, aku yakin Bojo sedang memikirkan ucapanku tadi.

BOJOTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang