Ngantor

18 2 0
                                    

"Abang, Papap sarapan dulu, yuk."

"Siap, Bun!" seruan Bojo dapat kudengar disusul tawaan Abang yang semakin mendekat kearah lokasiku sekarang.

Anakku happy banget main sama Bapaknya dari pagi. Bayangkan, jam setengah lima pagi bayi berumur sebelas bulan sudah bangun tanpa tangisan dan justru mengedip lucu sembari menatap kedua orang-tuanya yang baru selesai menunaikan ibadah.

Usai beribadah, pasangan ayah dan anak itu main dikasur. Tak berselang lama, Bojo berinisiatif mengajak Abang membeli sayur yang biasa lewat depan komplek. Lucunya, pulang dari sana, Bojo ngomel nggak berhenti.

"Bun, Abang aku mandiin sekarang aja, ya. Daritadi anak kita digiring sama ibu-ibu nggak kelar-kelar. Mana tadi ada ibu-ibu gendong Abang yang sebelumnya megang singkong masih banyak tanahnya."

Kalau biasanya saat sesi mandi diiringi nyanyian atau mainan bebek karet, kali ini ditemani dengan ocehan Papap-nya yang buat Abang melongo melihatnya, maaf ya, Nak.

.

"Bun, Abang aku ajak ke kantor aja nggak papa daripada nangis gini. Aku nggak tega."

Tangisan kencang Abang masih belum berhenti melihat Papap-nya sudah siap berangkat kerja. Mungkin karena sudah terlanjur asik main dari subuh, jadinya nggak mau pisah.

"Kamu nyusul aja nanti, kan kamu belum sarapan."

"Yaudah, aku siapin keperluan Abang sebentar."

Saat Bojo sibuk dengan car seat Abang, aku kembali memeriksa semua keperluan Abang didalam diaper bag-nya.

"Aku jalan dulu, Bun." ucapnya menghampiriku yang kurespon dengan menarik tangannya bermaksud untuk mengecup punggung tangannya.

"Hati-hati. Nak, jadi anak baik hari ini sama Papap ya, nanti Ibun nyusul." anakku membalasnya dengan ocehan bahasa bayi. Aku paham, intinya dia senang bisa ikut Papap-nya kerja.

.

"LHO, ANAKKU IKUT KERJA?!"

Jo datang menghampiri dengan kopi yang masih sedia di tangan, kebiasaannya dipagi hari saat sampai kantor.

Iya, sekarang Jo kerja dikantor gue. Bukan karena privilege, tapi murni lolos serangkaian tes wawancara dan lainnya. Jadi enak nih, bini gue kalau mau mantau bisa lewat Jo. Biasanya Jo sih, yang secara sukarela kasih info ke bini tanpa diminta.

"Nangis nggak mau ditinggal."

"Ulululu. Gue bawa ke divisi gue dulu ya, Mas."

"Iya. Gue juga nyalain laptop dulu bentar, nanti gue kesana."

.

Selagi menunggu lift, gue mengajak Abang bicara meskipun gue tau kalau banyak pasang mata tengah memperhatikan kami. Gue musti bangga nih, soalnya diantara kami berlima, baru gue satu-satunya yang bisa "akrab" sama Abang. Mas Kala yang notabene suka sama anak kecil saja, belum bisa mendekati Abang. Dekat disini dalam artian anak itu betah sama kita, ya. Sebab, pernah satu waktu Mas Hanan menitipkan Abang ke studio TFP dan kami (minus Mas Kala) mengharapkan Mas Kala sebagai satu-satunya orang yang ahli dalam berinteraksi dengan anak kecil mampu "mengurus" Abang selagi kami semua sibuk. Bukannya kami lepas tanggung jawab dan membebani semuanya ke Mas Kala, tapi bapaknya Abang emang kampret. Kami semua sedang hectic perihal proses album baru, ia malah dengan seenak jidatnya pergi dengan meninggalkan anaknya pada kami. Jujur saja, kami nggak keberatan justru malah senang dengan kehadiran Abang ditengah kesibukkan kami, yang di mana anak ini dapat menghibur disela kepenatan bekerja.

BOJOTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang