Sakit

15 2 3
                                    

Gue bergegas pulang setelah mendapat kabar dari Mama bahwa bini gue muntah-muntah. Lebih tepatnya keracunan salah satu merk roti terkenal yang usia roti tersebut hanya beberapa hari atau paling lama seminggu.

Bahkan gue pulang tanpa pamit sama anak-anak karena terlalu panik. Bini gue itu tipe orang yang kalau sakit suka nggak dirasa. Apalagi sakitnya sekedar pusing, flu, batuk yang nggak parah dan bertepatan kerjaannya sedang menumpuk, pasti akan tetap dihajar. Katanya, jangan dimanjain sakitnya. Tinggal gue deh, yang dibuat panik. Beruntung Mama sedang berkunjung kerumah, jadi gue sedikit tenang meski nggak sepenuhnya. Tapi yang penting, ada yang jaga Ifa selagi menunggu gue pulang.

.

Usai parkir mobil, gue langsung grabak-grubuk masuk kerumah tanpa salam, tanpa cuci tangan kaki dan langsung menuju kamar.

Pemandangan pertama yang gue lihat selepas membuka pintu kamar ialah wajah pucat Ifa dan terdapat sebuah baskom disamping kanan kasur yang gue yakini berisi cairan muntah bini gue.

Ya Allah, saya nggak bisa kalau liat begini..

"Kamu nggak lihat tanggal kadaluarsanya emang?" adalah pertanyaan pertama yang gue lontarkan sembari memijat pelipis Ifa.

"Nadi beli roti itu hari rabu, Nan. Buat lembur kemarin. Karena lupa, jadi baru dimakan hari ini. Nggak tau tuh, kenapa nggak lihat tanggal kadaluarsanya dulu. Biasanya kamu teliti loh, Nak."

Mama jawab sembari membalur minyak angin pada perut Ifa.

"Udah muntah berapa kali, Ma?"

"Udah tiga kali. Mending kamu bawa ke dokter aja, Nan. Mama nggak tega."

Mendengar kata dokter, gue melihat kedua mata bini gue berkaca-kaca. Ifa sensitif banget kalau dengar kata dokter saat sakit.

"Kita ke dokter yuk, mau ya?" bujuk gue seolah mengajak anak kecil untuk berobat, yang dijawab hanya anggukan oleh Ifa

.

"Mama nginep disini aja, ya. Udah malem, Mam. Besok Hanan anter." usul gue setelah menemani Ifa tidur.

"Nggak usah, Nan. Mama nggak bawa baju ganti. Ini juga udah minta jemput sama Bapak."

"Tapi nanti pulang bawa mobil Hanan aja, ya. Motor Bapak biar tinggal disini. Angin malem nggak bagus, Mam."

"Iya, Nan. Kamu juga kalo ada apa-apa hubungi Mama atau Bapak, ya."

.

Setelah mengantar Mama dan Bapak dan mengunci seluruh pintu, gue kembali ke kamar. Sehabis makan dan minum obat, wajah Ifa nampak tak sepucat seperti awal gue sampai rumah walau masih terlihat lemas.

"Mas, sini."

Panggilan "Mas" jarang terlontar dari mulut Ifa sejak panggilan Bojo menyerang. Kalau sudah begitu, artinya kemungkinan ada dua, lagi mencoba merayu sehabis gue omelin biar nggak gue nggak terlalu lama marahnya atau lagi pengen dimanja, tolong jangan bernada bacanya.

"Tolong peluk sambil puk puk aku, ya."

Pernahkah gue bilang, kalau salah satu kebiasaan Ifa yang gue suka itu nggak pernah gengsi untuk ngomong tolong, maaf dan terima kasih?

Memang terdengar sepele, tapi coba, deh. Nggak perlu ke pasangan, bisa dimulai dari ke keluarga dan teman-teman lo. Dengan kata tolong, orang yang lo minta bantuan akan merasa lebih senang dan dihargai tanpa ada kesan memerintah. Lagipula lebih enak didengar nggak, sih? Terus dengan kata maaf, nggak akan mengurangi harga diri lo. Meminta maaf duluan bahkan dapat pahala, kan? Terakhir, terima kasih. Masa perlu gue jelasin juga?

Kembali ke Ifa.

Begitu gue naik kasur dan posisi menyamping, Ifa langsung menabrak dada gue, lalu bergerak menuju ketek gue. Gue nggak tau nih, kenapa bini gue suka banget tidur dalam keadaan gue ketekin. Orang-orang mah, dileher pasangan atau didada gitu ya, ini diketek. Katanya hangat. Terserah kamu deh, sayang.

Selagi memeluk sambil menepuk pelan punggung bini, gue jadi inget kejadian waktu Ifa gejala tifus waktu kita pacaran.

*Flashback*

02.15 AM

Ini skripsi gue kalau gue tinggal tidur, kira-kira besok bisa beres dengan sendiri nggak, ya? Mata gue udah lima watt, badan pada rentek. Gara-gara Pak Jeremy, dosbing gue yang berencana pergi dinas ke Banjarmasin lusa dalam kurun waktu seminggu. Jadi mau nggak mau, gue kebut bimbingan.

Gue nggak pegang ponsel apalagi chat Ifa dari jam sembilan malam. Jelas Ifa sudah mengetahui kalau gue mau kebut revisi. Tapi nggak tau kenapa, tangan gue gatal ingin memegang benda yang sudah lima jam lebih gue abaikan, apalagi setelah dengar getar beberapa kali tanda ada pesan masuk.

Naditya 🌸

Kak, perut aku melilit banget abis 3 kali eek dalam kurun waktu 30 menit ☹️
LHO MASIH CEKLIS 2, TOH??

KOK BISA?!
Mam apa kamu?

Aku mam mi ayam tadi
Emang pedes, sih. Tapi enak
Nggak taunya aku moncor sekarang ☹️

Bentar.

Mau ngapain????

Tanpa membalas pesan apalagi memikirkan skripsi, gue tancap gas menuju apotek terdekat. Nggak peduli jam berapa pun, belum jaman begal juga.

Karena Ifa cuma menjelaskan melilit karena BAB, jadi gue tanya ke Mbak apoteker-nya obat apa yang bisa mengurangi sakit perut dan disarankan untuk minum oralit.

.

Perjalanan gue lebih cepat dari biasanya, yaiyalah, wong dini hari.

Gue mengetuk pintu rumah Ifa yang dibukakan oleh Bapak dengan raut wajah yang terkejut dan kalau gue nggak salah nerawang, muka beliau kayak yang

"Nih anak ngapain sih, kerumah gue malem-malem? Mana nggak keren banget lagi dandanan-nya. Cuma kaus belel sama kolor jablay." begitu, tapi gue nggak peduli yang penting anak Bapak yang cebol itu nggak sakit lagi.

"Lho ada apa, Le? Kok malem-malem kesini? Maaf ya, bukanya lama."

"Saya mau nganter obat buat Ifa, Pak."

"Ya ampun, jadi ngerepotin. Anaknya lagi dikerokin sama Mama. Masuk-masuk."

Obat yang gue beli ternyata nggak berpengaruh besar karena 10 menit setelah minum obat, Ifa masih bolak-balik ke toilet. Ditambah sekarang muntah-muntah. Lemes lah, keluar dari segala penjuru. Karena Ifa yang nggak mau ke dokter dan nggak mungkin manggil dokter kerumah di jam segini, jadi gue anter paginya. Iya, gue disuruh nginep sama Bapak, takut gue kenapa-kenapa katanya.

.

Setelah diperiksa, Ifa di diagnosis gejala tifus oleh dokter. Pikiran gue udah traveling, takutnya, amit-amit usus buntu. Hari itu pun gue gagal bimbingan, dan balasan yang gue dapat dari Ifa bukannya pelukan apalagi ciuman terima kasih, melainkan lengan gue dipukul dan dicubit. Katanya kenapa gue nggak bawa laptop saja kerumah jadi selagi jagain dia, gue bisa kerjain revisi. Maksud gue gini, gue saja nggak mikirin gitu, lho. Kok dia repot banget segala kepikiran gue kerjain revisi sambil jagain dia. Dikira gue konsen?

Kembali ke masa saat ini.

Baru gue peluk beberapa menit, gue mendengar dengkuran halus dari Ifa.
Bini gue nih, termasuk orang yang cepat banget tidurnya. Setelah baca doa dan ngumpet diketek gue, pasti lima menit setelahnya tertidur. Ngatain gue pelor, padahal sendirinya juga sama. Walaupun gue lebih parah, sih. Sesuai judul, pelor. Nempel mana saja molor. Tapi konteks pelor-nya Ifa disini ya itu, gampang banget tidurnya kalau sudah dikasur. Bahkan setelah ngobrol ngalor ngidul dan haha hihi sama gue kalau setelahnya dia baca doa, pasti nggak berselang lama langsung tidur. Nggak papa sih, bagus malah. Dah ah, gue mau tidur. Mohon doanya biar bini gue cepet sembuh ya, biar dia bisa cerita disini lagi.

BOJOTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang