Takut

12 3 2
                                    

Karena disini kebanyakan cerita manis-manis hubungan gue dan Ifa, kali ini gue akan menceritakan salah satu kejadian saat berantem.

Kala itu, hubungan kami belum ada status, masih tahap pendekatan. Ifa sudah kasih tau kan, kalau gue nembaknya pas mau sidang? Hahaha. Kejadian ini terjadi saat gue lagi garap bab tiga. Sore itu TFP ada jadwal manggung disalah satu festival musik terbesar di Indonesia. Ifa janji ke gue akan datang, karena sebelumnya ia absen dengan alasan malas. Ia mulai bersemangat saat gue mengatakan akan banyak booth makanan. Ifa doang emang, yang malas lihat cowok–cowok ganteng manggung.

Saat The First Place on stage, mata gue jelalatan melihat sekitar mencari Ifa, sebab kami berangkat secara terpisah. Ketika kedua retina gue menangkap radar Ifa, kami auto melempar senyum.

Satu, dua lagu sudah terlewati dan gue nggak sadar, kalau ternyata Ifa sudah nggak ditempat ia berdiri sebelumnya sampai kami selesai perform. Perasaan gue? Agak kesel sih, gue mencoba berpikir positif dengan mencoba menghubungi Ifa. Namun naas, nomornya nggak aktif.

“Sayang.”

Suara yang sangat familiar memanggil gue saat kami sampai diparkiran mobil. Ternyata Ifa nunggu disini. Gue yang terlanjur bete, memilih untuk mengabaikannya dan tetap jalan menuju mobil.

Aturan tadi gue nebeng Mas Kala. Biar mobil ini dibawa Jo, pikir gue saat itu.

.

Dua hari Ifa menghilang tanpa kabar. Gue pun nggak menghubungi Ifa. Inget ya, gue masih marah gara–gara kejadian kemarin. Saat didalam mobil pun Ifa nggak ngomong apa–apa. Maksudnya, dia nggak kasih tau gue alasan dia keluar area sebelum gue kelar perform. Sampai depan rumahnya, Ifa hanya mengucapkan terima kasih tanpa menatap gue.

Naditya 🌸

Di mana?

Dirumah

Kok berasa dia yang marah ke gue?

Aku kesana.
Read

.

“Nadi udah dua hari sakit, Le.”

Bagai terkena sambar petir disiang bolong, gue kaget mendengar kabar tersebut. Ifa nggak ada kasih kabar apa–apa ke gue. Mau marah ya, percuma. Masa lagi sakit, gue omelin.

“Kamu langsung ke kamarnya aja. Kayaknya Nadi lagi tidur.”

Suasana kamar gelap dengan gorden kamar tertutup, serta pemilik kamar yang sengaja membungkus seluruh tubuhnya dengan selimut. Gue perlahan mendekati Ifa dengan menarik kursi disisi kanan kasur, lalu memeriksa suhu tubuhnya dengan punggung tangan gue, nggak panas. Syukurlah.

“Kok kamu nggak ngasih tau aku kalo sakit? Aku kaget, tau.”

Gue bertanya seraya mengelus pelan kepalanya yang tertutup selimut. Nggak berniat membangunkannya.

“Maaf.”

Lho, nggak tidur ternyata??

Baru akan menyingkap selimutnya, ia kembali meneruskan kalimat sebelumnya.

“Maaf, aku tiba–tiba ngilang kemarin.”

“Itu bisa dibahas nanti, kamu masih—”

Gue dikejutkan oleh dua hal. Satu, selimut yang tersingkap, dua, wajah sayu dan pucat Ifa.

“Biar semuanya clear.

Okay. Apa yang mau kamu jelasin?”

“Maaf, aku tiba–tiba menghilang ditengah acara. Aku nggak kuat asap rokok.”

Gue nggak pernah tau kalau Ifa—

“Nggak. Aku nggak ada riwayat asma tapi aku memang nggak kuat sama asap–asap gitu, terutama rokok. Aku merasa dadaku langsung penuh kalo hirup lama–lama. Aku udah nebak akan banyak asap disana makanya bawa masker, tapi aku juga nggak mau jadi pusat perhatian. Itu sebabnya aku kabur.”

“Fa, maaf ak—”

“Nggak papa, aku ngerti. Aku mewajarkan kamu marah karena aku udah janji akan nonton, tapi malah kabur disaat kamu perform.

Still, I’m sorry. Aku nggak tau kalo kamu nggak bisa kena asap gitu.”

“Nah. It’s okay, babe.”

“Apa sekarang masih sesek?”

“Enggaaa. Kalo udah dibawa ke tempat yang jauh dari asap juga langsung membaik, kok.”

Obrolan setelahnya mulai membaik. Kami melontarkan candaan, ia yang melempari bantal ke gue, sampai menceritakan perihal burung bapak yang terbang kemarin.

"Clear, now?"

"Hmm. Not yet."

Hah?

“Sebenarnya, selain karna asap, aku pergi karena ada sesuatu.”

“Karen apa?”

Raut wajahnya berubah. Takut bercampur menahan tangis lebih tepatnya. Dengan cepat, gue menariknya ke pelukan seraya menenangkannya.

“Ada dua orang himpit aku gitu. Aku takut.”

Wah..

“Awalnya, aku biasa aja. Ku pikir memang semua penonton desak–desakan gitu karena euforia pas kamu perform. Aku liat sebelah kanan, masih agak longgar. Nggak sampai yang dorong-dorong gitu, makanya aku coba geser. Lama–lama, aku merasa ada yang nggak beres. Aku nggak berani tegur. Mukanya sangar semua. Pas salah satu mereka lengah, aku langsung kabur. Di mobil aku nggak ngomong apa–apa karena aku masih takut..”

Asu.


Hai. Maaf pendek, ya.

BOJOTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang