Semenjak Abang Khai lahir, malam hari menjadi waktu yang tepat untuk kami habiskan bersama. Mulai dari obrolan santai hingga topik berat, menonton film, cuddle, dan masak pun kami lakoni bila keadaan mendesak (kelaparan). Tentu bukan makanan berat. Sekedar mie atau telur urak-arik nggak masalah.
Pembicaraan kami pun, layaknya orang tua kebanyakan. Seperti, membicarakan tingkah lucu yang pernah Abang lakukan, rencana liburan, memilih sekolah yang sekiranya cocok untuk anak kami hingga ke jenjang perguruan tinggi. Haha, aku tau kalau hal itu masih lama, tapi apa salahnya merencanakan, kan?
"Dek." sudah cukup lama aku nggak mendengar panggilan ini.
"Dalem?" keheningan beberapa detik setelahnya. Aku tau dia pasti salting kalau aku menjawab dengan kata tersebut, hahaha.
"Apa kamu menyesal menikah diusia muda?"
Pertanyaan tersebut beberapa kali terlontar dari teman-temanku. Beberapa dari mereka seperti menyayangkan keputusanku yang terkesan buru-buru dalam mengambil sebuah langkah yang bahkan aku sendiri nggak menyangka akan seberani itu.
Dulu, selepas lulus SMA, aku bertekad ingin menjadi orang sukses. Bisa keliling dunia dengan hasil jerih payahnya sendiri. Menikah? Itu bukan prioritasku. Aku memiliki target untuk melepas masa lajang diusia 27 tahun (walau teman-temanku bilang nggak perlu seperti itu), tapi aku nggak peduli. Intinya, aku mau Mama dan Bapak bangga punya aku. Tapi yang namanya jodoh, kita nggak pernah tau kapan datang.
"Bojo, semuanya sudah di-setting sama Allah. Rezeki, maut, jodoh. Itu sudah diatur sedemikian rupa oleh Allah diwaktu yang tepat. Nggak terlalu cepat maupun terlambat.
Disaat kamu mengajukan pertanyaan tersebut, aku tau kamu nggak main-main. Kamu pasti sudah memikirkan dari jauh hari, kamu sudah memikirkan resikonya, dan kemungkinan terburuk yang akan terjadi di masa mendatang. Itu sebabnya, nggak butuh waktu lama bagiku untuk menjawab, karena aku yakin kamu orangnya. Orang yang ditunjuk Allah sebagai jodohku."
"..."
"Bojo, kamu kan tau kalau mimpiku banyak? Ada beberapa yang belum terwujud sampai saat ini. Tapi prioritasku sekarang bukan itu, melainkan kalian. Keluarga kecilku. Aku nggak masalah mengesampingkan mimpiku, asal kalian selalu ada buat aku sampai nanti Allah panggil aku buat pulang."
Kulihat pergerakannya yang tiba-tiba menarik tanganku dan menggenggamnya erat.
"Kalau kamu gimana? Maksudnya, kenapa pilih aku sebagai partner dalam menghabiskan sisa umur kamu?"
"Karena lo kan pacar gue. Kalau gue nggak lamar lo, nanti apa kata Bapak sama Mama?"
Mendengar jawaban resek tersebut, membuatku mencubit perutnya yang otw buncit itu (nggak ding).
"AKU CAPEK-CAPEK MERANGKAI KATA, TAPI KAMU MALAH JAWABNYA ASAL-ASALAN NYEBELINN!!"
Biarkan saja ia ku hadiahkan hujaman cubitan dan pukulan.
"BUAHAHA––ADOW ADOW SAKIT, DEK!"
"Ngeselin! Udah deh, aku mau tidur aja."
Layaknya adegan film, di mana pemeran utama lelaki menarik tangan si perempuan utama yang menyebabkan tabrakan kening diantara mereka. Seperti itulah keadaan kami sekarang.
KAMU SEDANG MEMBACA
BOJO
FanfictionSekilas Cerita Kehidupan Rumah Tangga Tiffany Naditya Kusuma & Hanan Adityatama Erlangga.