Pergi meninggalkan Ifa keluar kota merupakan hal yang berat buat gue. Baik sebelum maupun sekarang posisinya yang tengah hamil. Iya, gue bucin, bodoamat. Ya Tuhan, maafkan mulut hamba yang susah nge-rem.
Memasuki usia kehamilan dibulan kelima, perutnya mulai membuncit. Membuatnya semakin mudah lelah, sakit punggung, serta kaki mudah pegal. Posisi tidurpun sudah nggak sebebas dulu. Hebatnya, bini gue nggak pernah ngeluh.
Nak, lihat perjuangan Mama mu.
Selama gue pergi, gue berniat nitip Ifa kerumah Ibu agar ia tak kesepian dan–-amit-amit–-kalau terjadi sesuatu, orang rumah bisa langsung hubungi gue.
"Hoodie yang kamu pake sekarang, nanti jangan taruh dikeranjang pakaian kotor, ya."
"Emang kenapa?"
"Buat aku peluk beberapa hari kedepan. Mumpung masih ada bau kamu."
Perjalanan dinas kali ini boleh di reschedule nggak, sih?
.
"Jaga diri baik-baik ya, kamu."
"Sayang, aku mau keluar kota bukan ke medan perang."
Lengan gue ditabok setelahnya.
"Kamu pikir pengungkapan 'jaga diri' cuma buat yang mau ke medan perang doang?"
Ifa jarang mood swing semenjak hamil, jadi kadang gue suka meledeknya.
"Iya, maaf." saatnya pamit ke dedek.
"Nak, Papap mau pergi sebentar. Kamu sehat-sehat, ya. Jaga Mama buat Papap. Jangan bikin Mama sakit lagi, okay?" anak gue responsif banget. Langsung nendang masa.
Baru ngomongin mood swing, sekarang bini gue malah nangis melihat interaksi kami.
"Kok mewek? Utututu."
Yah, makin kejer, dong.
"Kamu sih, Bang."
Ayah berucap sembari menyenggol lengan gue.
Salah teros.
Buat kalian yang penasaran, hubungan gue dan Ayah membaik usai mendapat kabar kalau sebentar lagi mereka akan jadi kakek dan nenek.
Makasih ya Nak, kamu sudah membawa banyak keberkahan dihidup kami.
"Udah cepetan kamu jalan. Nanti macet."
Ifa melepas pelukan sembari membersihkan sisa-sisa air matanya.
.
Tiga hari panjang nan berat akhirnya terlewati. Saatnya pulang dan gue sudah nggak sabar buat menyapa keluarga kecil gue. Jadi gini ya, rasanya mau punya buntut dan jadi bapak, bawaannya kangen terus. Pingin cepat pulang, hehe.
"Kamu udah tau jenis kelamin anakmu, Bang?"
"Belum, Yah. Pas nge-check ketutupan tangannya. Jadwal kontrol seharusnya kemarin sih, tapi Ifa belum ngasih tau Abang."
Tak berapa lama, ada pesan masuk dari Ibu.
Ibu
Bang
Ibu sudah tau jenis kelamin anak kamuBU, JANGAN KASIH TAU SEKARANG
BIAR NANTI ABANG TANYA LANGSUNG KE IFAHahaha
Iya. Tadi ifa juga bilang gitu sama ibuSekarang ifa-nya kemana, bu?
Abang chat nggak dibalesIni dikamar kamu
ReadSontak saja, gue tersenyum melihat perut Ifa. Bulet, gemes kayak combro. Kalian inget kan, gue yang sekarang lembek? Nah diawal bulan kelima, gue masih menunjukkan tanda-tanda kecengeng-an saat tendangan pertama si dedek. Jangan ditanya deh, gimana reaksi Ifa. Orangnya malah ketawa-ketiwi. Mungkin menurut dia kapan lagi gitu kan, gue mudah tersentuh.
.
Usai mencuci tangan dan kaki, gue bergegas ke kamar. Ifa kaget liat gue pulang, karena sebelumnya gue nggak bilang secara spesifik waktu kepulangan.
"Kok udah pulang?"
"Bukannya seneng aku pulangnya nggak malem, malah heran. Jaket siapa, tuh?"
"Jaket Bapak Sutedjo." alias mertua gue.
"HAHAHAHA."
"Hai, Nak, Papap udah pulang. Nakal nggak kamu selama Papap nggak ada?"
Kangen banget gue sama ini bocah.
"Nggak dong, Pap. Aku anak pinter."
“Bagus.”
“Abon gulung aku mana? Jangan bilang kamu lupa. Awas aja.”
“Ada, dong. Tapi dimobil, aku lupa bawa.”
Mendengar kalimat tersebut, Ifa langsung berjalan cepat keluar kamar yang pastinya gue ikutin. Selain jarang mood swing, ngidamnya Ifa masih terbilang normal. Maksudnya nggak kayak kakak-nya Jo yang ngidam di jam tiga pagi dan nggak aneh-aneh juga. Masih bisa dijangkau sama gue atau bisa delivery.
Andre, teman kantor gue, pernah nakut-nakutin gue kayak,
“Semoga bini lo nggak kayak bini gue pas hamil deh, Mas.”
“Kenapa bini lo?”
“Pernah ngidam mangga muda di jam dua belas malem. Gue awalnya mikir di jam segitu mana ada tukang buah yang masih buka. Eh, nggak taunya dia pingin gue manjat pohon mangga tetangga gue, Mas. Gue bukannya takut sama setan penunggunya, tapi takut pemilik rumahnya. Beliau terkenal galak.”
“Terus akhirnya gimana?”
“Ya mau nggak mau, Mas. Demi anak gue. Pas gue udah dapet, nggak taunya dia nyuruh gue makan mangga itu sampe besoknya gue mencret.”
Makin takut lah gue. Tapi Alhamdulillah-nya nggak. Atau mungkin belum, ya? Intinya gue akan berusaha semaksimal mungkin buat bini gue. Karena ya, kalian tau sendiri jadi ibu hamil itu nggak gampang. Lagipula ada kebahagiaan tersendiri saat kita sebagai suami bisa memenuhi keinginan sang istri dan si calon buah hati.
.
“Pap, kalo aku resign pas tujuh bulan, gimana?”
Kata dokter, si dedek sudah bisa mendengar. Makanya kami mulai membiasakan diri untuk memanggil dengan sebutan Mama dan Papap. Papa sih awalnya, namun kadang Ifa suka belokin jadi Papap. Ya, nggak papa sih, lucu juga. Tapi baik gue maupun Ifa masih suka keceplosan panggil selain itu. Maklum, masih adaptasi.
“Kenapa mau resign?”
“Aku mau fokus ngurus dedek. Aku mau lihat perkembangan dedek dengan mata kepalaku sendiri. Terlebih saat golden age-nya nanti. Menjadi ibu rumah tangga sepenuhnya menurutku keren. Nggak mudah, tapi aku yakin aku bisa."
Mendengar pernyataannya barusan membuat gue tersenyum.
"Semua terserah kamu. Aku nggak pernah ngelarang kamu kerja setelah kita nikah karena aku tau, masih banyak pencapaian yang masih pingin kamu raih diluar sana. Tapi kalo kamu memutuskan keluar, ya nggak papa. Aku mendukung apapun keputusan kamu selama itu positif."
Yah, dia mewek lagi.
"You're such a great husband. Thank you."
Ia beralih memeluk gue. Masih dengan sisa-sisa tangisnya.
"Aku yakin, mimpi-mimpiku nanti bisa ku lanjut setelah Abang udah gede."
Hah? Bentar..
"Abang?"
Dengan senyum favorit gue, ia berucap,
"It's a boy, darl."
GUE BAKAL PUNYA TEMEN MAIN BOLA!!!!
KAMU SEDANG MEMBACA
BOJO
FanfictionSekilas Cerita Kehidupan Rumah Tangga Tiffany Naditya Kusuma & Hanan Adityatama Erlangga.