38

782 58 2
                                    

"Keluar Brandon. Kita punya urusan yang belum selesai." Diluar dugaan, Ninja putih itu membuka topengnya lalu bersuara. Lebih lanjut, ia menancapkan katananya ke lantai dan berdiri tegak. Wajahnya serius menantang Brandon yang sedang bersembunyi di balik dinding, waspada kalau dilempar katana.

Brandon yang melihat ekspresi serius Ninja Putih yang menantangnya itu pun menjawab dengan menampakkan diri. Keduanya bertatapan tajam. Peraduan tatapan dengan aura penuh tekanan yang membuat anak buah Brandon serta anak buah Shiro di sebelah-sebelahnya gemetar, termasuk juga Jessica yang sampai menelan ludah dan rasanya ingin mengompol.

"Mau kita lakukan di mana? Di sini?" Ucap Brandon dengan suara lantang dan sudah mempersiapkan katananya.

Ninja putih yang tertantang itu pun mendengus lalu mengambil kembali katana yang ia tancapkan ke lantai. "Kau lawan yang menarik. Selama bertahun-tahun aku mengabdi menjadi komisaris Tirai Naga dan melakukan pekerjaan kotor untuk mereka, tak kusangka Panglima Sabit Merah, Brandon yang tak terkalahkan itu memang sesuai julukannya." Sring... Pedang besi itu berkilau terkena cahaya lampu di atas, dengan silaunya itu saja seakan sudah mampu menyayat siapa saja.

"Aduduh... Sekarang bagaimana!?" Gumam Jessica yang tahu, kalau ia ikut-ikutan ke sana, dirinya pasti mampus. Level Brandon dan Ninja putih itu bukanlah seseorang yang bisa ia lawan. Semua yang ada di sana juga merasakan hal yang sama, kecuali Vlam dan Monten.

Kedua Jenderal Sabit Merah itu ingin ikut berdiri di samping Brandon, tapi Brandon melirik ke belakang, dan tersenyum. Ia tahu jalan pikir Jenderal-jenderalnya itu, dan para Jenderalnya juga mengerti Brandon. Brandon ingin berduel satu lawan satu, dan ia ingin agar mereka semua percaya kepadanya untuk lanjut tanpa dirinya. Jika benar mereka sudah ketahuan, maka mereka juga bertarung melawan waktu! Semakin lama mereka berdiam diri, semakin besar kemungkinannya para petinggi Tirai Naga yang lain kabur!

Akhirnya, menanfaatkan itu, Jessica yang pada akhirnya mengerti bergegas mencari bangkit untuk lanjut melangkah. Di belakangnya, Vlam, Monten, dan anak buah Sabit Merah mengikuti. Melihat hal itu, para anak buah Shiro pun segera mengejar gerombolan Jessica. Hingga, Brandon hanya tinggal berdua, diberikan waktu untuk bertarung satu lawan satu sampai ada yang mati.

"Tch! Mereka membuntuti kita!" Seru Jessica.

Monten lantas memerintahkan anak buahnya yang ikut untuk bersamanya menghadang. "Kalian lanjut! Gue nyusul!" Suara Monten, yang berbadan besar seperti Mountain itu menggelegar penuh keyakinan. Ucapannya yang lantang itu lantas membuat anak buahnya mendapat suntikan moral. Beberapanya lagi lanjut ikut berlari bersama Jessica dan Vlam.

Keadaan tidak menguntungkan memang. Sabit Merah yang sempat tercerai-berai hanya mampu dikumpulkan sebanyak ini. Jumlah dan kekuatan mereka jauh dibandingkan dengan jumlah dan kekuatan mereka saat membantai Hyena Hitam. Beberapa di antaranya ada yang tidak mau bergabung lagi karena memang merasa sudah tidak ada masa depan di Sabit Merah. Tirai Naga menang dan berkuasa, Brandon juga buronan polisi. Tidak ada masa depan di geng seperti itu. Karena itu juga, penyerangan ini adalah titik penetuan bagi sisa-siaa Sabit Merah yang ada sebagai ajang pembuktian. Apabila mereka bisa menghabisi Tirai Naga dalam serangan dadakan ini, maka kejayaan mereka seperti sedia kala pasti akan kembali!

Jessica dan Vlam pun tiba di sebuah ruangan yang cukup luas. Nampaknya adalah sebuah aula yang biasanya digunakan untuk kegiatan besar Tirai Naga. Namun, sepanjang mata melihat, sekilas aula itu kosong, tak ada isimya. Lampu yang dimatikan juga membuat suasana gelap sehingga jarak pandang pun pendek. "Mmmm! Mmmm!" Hingga akhirnya, terdengar suara geraman yang menuntu Jessica serta Vlam untuk mendatanginya.

Salah satu anak buah Sabit Merah pun berinisiatif untuk menyalakan flash smartphone sebagai lampu senter. Begitu diarahkan ke sumber suara, terlihat sebuah sosok yang sedang diikat seperti babi yang siap dipanggang. Sosok itu wajahnya merah. Bertran memerah, antara putus asa hendak menangis atau karena suaranya yang daritadi ingin ia keluarkan selalu tertahan karena mulutnya juga dilakban. Pakaiannya telah dilucuti, sehingga memang perumapanan seperti babi yang siap dipanggang bukanlah kiasan yang tak berdasar.

Batavia GangsterTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang