-BRANDON-
Jadilah yang terkuat, karena kekuatanlah yang akan membawamu berdiri ke puncak. Itulah pesan yang selalu diucapkan Papa kepadaku.
Papa... bukanlah Papa kandungku. Dia adalah seorang pria yang mengangkatku menjadi anaknya karena... aku kuat. Aku tidak pernah sekalipun kalah berkelahi. Sejak kecil, aku dipersilahkan untuk mengikuti latihan beladiri di dekat lampu merah tempatku berjualan makanan. Master membiarkanku mengikutinya secara cuma-cuma, mungkin sama dengan Papa, dia tertarik melihat kekuatanku. Baik pertandingan di arena ataupun dijalanan, aku tidak pernah kalah.
Orang tuaku miskin. Aku adalah anak ke 9 dari 12 bersaudara. Tidak banyak apa yang bisa kudapat dari mereka, malah, sejak kecil aku harus membantu keluarga berjualan di sudut lampu merah. Sampai akhirnya kedua orang tuaku tidak sanggup lagi membiayai kehidupanku dan aku pun dijual kepada seseorang yang aku tidak ingat namanya.
Aku berontak dan memilih kabur untuk hidup sendirian. Aku kemudian menemukan arena sabung liar tempat manusia saling berkelahi. Di sana, aku bisa mendapatkan uang apabila aku berhasil mengalahkan orang. Orang-orang yang menontonku juga dapat mendapatkan uang dari hasil berjudi dengan bertaruh kepada kemenanganku. Cocok kurasa, karena hal yang paling kumengerti di dunia ini hanyalah berkelahi, dan aku tidak pernah kalah.
Aku tidak pernah kalah selama dua tahun di sana. Namaku sampai berdengung di dunia sabung orang itu, sampai akhirnya Papa mendengar namaku lalu menontonku secara langsung. Sejak saat itu juga, dia mengajakku untuk ikut dengannya menjadi anak angkatnya. Aku... aku yang lelah hidup sendirian menerima tawaran itu. Lagipula, saat itu aku masih sangat muda, belun remaja.
Saat diangkat anak oleh Papa, aku pun mulai mengenal sosoknya. Dia adalah pria penuh prinsip yang sangat dihormati. Tiap langkahnya membuat banyak pria-pria sangar lain menundukkan pandangan. Perintahnya juga dijalankan tanpa pertanyaan, segera, dan tuntas. Papa adalah pemimpin dari geng Sabit Merah, yang saat ini sedang mendaki puncak penguasa dunia bawah Jakarta. Aku yakin, jika keadaannya begini, maka hanya tinggal menunggu waktu kejadian itu akan terjadi.
Tapi... Papa mengalami sakit. Sebuah penyakit datang kepadanya di umurnya yang tidak terlalu tua. Gara-gara itu, ia jadi tidak bisa banyak hadir di lapangan untuk mengontrol Sabit Merah. Lalu, sejak saat itulah aku diangkat menjadi Panglima Sabit Merah, second in command, orang kedua setelah Papa di geng itu.
Tentu banyak yang protes, tapi ucapan Papa untuk menjawabnya hanya singkat, siapa pun yang bisa mengalahkanku dalam pertandingan satu lawan satu secara adil, maka dia berhak merebut posisiku. Tantangan itu bukan hanya menimbulkan gejolak di internal Sabit Merah, namun juga menyebabkan banyak geng-geng lain hadir untuk menantangku bertarung.
Sabit Merah memiliki arena sabung orang pribadi, dan di sanalah aku menjawab tantangan mereka semua. Orang pertama yang kuhajar adalah salah satu petinggi Geng Timur, yang memegang peranan sebagai geng penagih hutang, debt collector, tukang pukul, dan lain-lain yang membutuhkan otot seperti itu. Namanya adalah Vlam. Aku berhasil menang lalu merekrutnya menjadi bagian Sabit Merah. Bersamaan dengan itu, anak buahnya juga ikut bergabung ke Sabit Merah.
Akibat ucapan Papa itu, banyak lawan yang berhasil kutumbangkan dan... aku tidak pernah kalah. Tiap lawan yang kukalahkan, jika mereka kurasa menarik, akan kurekrut menjadi Sabit Merah. Tindakanku ini menyebabkan Sabit Merah semakin besar dan kuat. Tak jarang, aku juga berkeliling menantang orang kuat untuk melihat apakah mereka bisa direkrut menjadi Sabit Merah atau tidak. Papa juga mendukung tindakanku ini.
Makin hari, Sabit Merah semakin kuat hingga memasuki masa kejayaannya. Kami selalu memenangkan pertempuran antar geng, dan membuat kami mampu berdiri di puncak bersama Tirai Naga. Aku tidak mau berurusan dengan kelompok itu. Mereka bukanlah petarung, melainkan kumpulan orang-orang licik. Namun, meskipun makin hari Sabit Merah semakin kuat, keadaan justru berbalik ke Papa. Papa makin hari makin lemah sampai akhirnya harus terbaring di rumah setiap saat dan mendapatkan perawatan medis.
Dalam keadaan yang lemah itu, Papa menggenggam tanganku dan menatapku dalam-dalam. Ia lantas mengucapkan sebuah kalimat yang membuatku bergetar, "Jaga Sabit Merah untukku."
KAMU SEDANG MEMBACA
Batavia Gangster
ActionJakarta dikuasai oleh dua geng besar, Tirai Naga dan Sabit Merah. Mereka adalah dewa dunia bawah Jakarta, dan tidak ada satu pun yang berani macam-macam dengan mereka. Namun, ada satu geng yang berani menantang kedua dewa dunia bawah Jakarta itu! K...