Sendok & Garpu

935 57 0
                                    

-SENDOK DAN GARPU-

Kami hanya berdua, sejak awal hanya berdua. Adik kembar perempuanku itu satu-satunya keluarga dan harta yang kumiliki. Kami tidak kenal siapa orang tua kami, atau darimana mereka berasal. Ingatan pertama yang ada di dalam kepala kami hanyalah bayangan remang-remang dan dinding kusam dari tempat pelatihan militer tempat kami diasuh.

Di sana, kami berdua terbiasa mendengar teriakan. Teriakan-teriakan yang menyuruh kami melakukan banyak hal. Segala hal harus disiapkan dengan cepat. Lambat sedikit saja... akan terjadi hal buruk kepada kami berdua dan kami tidak mau mengingat hal itu lagi. Makanan harus siap tersaji sebelum pukul setengah delapan malam setiap harinya, dan kami harus menghabiskan semuanya paling lama dalam waktu lima menit.

Hidup selalu dalam tekanan, sampai tidak mengerti bagaimana dunia luar. Setiap hari, kami mengenal peluru dan senapan. Kami mengerti bagian-bagiannya serta jenis-jenisnya. Kami juga mengerti bagaimana cara menggunakanannya, terutama saudara perempuanku yang... rasanya menjadi seseorang yang lain ketika ia menggunakan senjata api.

Kami bertahan dengan dunia ini selama yang kami bisa ingat. Entah. Belasan tahun mungkin, sampai akhirnya ketika kami sudah dewasa seperti ini kami diperbolehkan keluar dari camp, melangkah keluar dari dinding kusam yang memenjara kami selama belasan tahun.

Tapi, kami tidak langsung mendapatkan kebebasan. Kami beberapa kali harus mengikuti perintah dari berbagai macam orang yang menyewa kami untuk melakukan sesuatu. Bukan pekerjaan yang patut dibanggakan, dan justru kalau bisa, kami ingin menghapusnya dari ingatanku, berharap kami tidak pernah menjalaninya. Membunuh orang. Menghilangkan orang. Menyiksa seseorang. Menculik. Pekerjaan kotor apa pun itu kami terima sampai kami mempunyai uang yang cukup untuk membeli diri kami sendiri dari organisasi yang sudah membesarkan kami.

Awal yang baru, itulah yang diucapkan kembaranku itu. Aku juga setuju dengan idenya, karena itulah kami berdua berangkat ke Jakarta dan memulai hidup baru. Bekal kami adalah kemampuan memasak kami yang sama terasahnya dengan kemampuan menggunakan senjata api. Kami dengan depat diterima bekerja di restoran yang berbeda. Aku menjadi barista, sedangkan kembaranku berkata ia punya impian baru, yaitu mengumpulkan modal untuk membuka restoran sendiri.

Kami bertemu orang baik. Tuan Charlie mengajak kami berdua ke dalam rangkulannya dan untuk pertama kalinya... kami berdua merasakan bagaimana rasanya mempunyai keluarga. Tuan Charlie memiliki bisnis restoran bercabang, aku bekerja sebagai barista di salah coffeshopnya, sedangkan adikku bekerja sebagai koki di salah satu restorannya. Kami dikelilingi orang baik. Tuan Charlie tidak peduli masa lalu kami. Aku masih ingat ucapannya saat itu yang membuatku menganga dan mati-matian menghormatinya, "Aku tidak peduli apa yang kalian lakukan di masa lalu, tapi, aku bisa merasakan dari masakan kalian kalau kalian adalah orang baik yang bernasib sial."

Setahun, dua tahun, aku dan adikku bekerja di restoran Tuan Charlie. Tapi... Suatu hari, restoran kami didatangi preman. Mereka menyebut diri mereka Sabit Merah, dan mereka datang untuk meminta uang jatah. Hari itu, aku dan adikku sedang libur bekerja karena bukan shift kami, sehingga kami sedang pergi jalan-jalan berkeliling kota, tanpa tahu ada sesuatu yang terjadi di restoran dan kepada Tuan Charlie.

Tuan Charlie menolaknya. Dia adalah pria penuh prinsip. Bukan karena dia pelit dan tidak mau keluar uang sedikit pun, tapi, aku bisa mengerti kenapa, itu karena dia membenci tindakan preman-preman seperti ini. Ia membenci pungutan liar. Ia mungkin bisa membayarnya dan memberikan jatah preman yang diminta Sabit Merah itu, akan tetapi, bagaimana dengan warung-warung di sekitarnya? Nasib mereka tidak lebih baik dari restoran Tuan Charlie. Sepi. Pengunjung dapat dihitung dengan jari. Padahal, geng Sabit Merah itu sendiri sudah menguasai lahan parkir dan kalau dihitung, pendapatan mereka dari memalak uang parkir lebih banyak dibandingkan restoran itu sendiri. Tapi, mereka masih saja meminta uang jatah preman.

Tuan Charlie yang melawan pun dibawa masuk ke dalam mobil, bersama anak perempuannya yang masih kelas satu SMA. Salah satu rekan kerja kami menceritakan segalanya kepada kami. Ia juga berkata kalau Sabit Merah yang membawa Tuan Charlie ingin menjadikan Tuan Charlie sebagai contoh.

Aku dan adikku langsung mencari ke mana Tuan Charlie dibawa. Tanpa bekal apa pun. Kami memulai hidup baru. Kami tidak mempunyai senjata api, dan di sini, senjata api juga sulit untuk didapatkan. Tapi, kami tidak menyerah. Kami menggunakan semua pengalaman kami berurusan dengan dunia bawah untuk mengorek informasi, hingga akhirnya kami menemukan sebuah gudang yang katanya merupakan salah satu titik kumpul Sabit Merah. Kemungkinan besarnya, Tuan Charlie juga dibawa ke sana.

Aku dan adik perempuanku mengamuk masuk ke dalam. Di sana... sungguh mengerikan. Tidak ada bedanya. Gangster, mafia, komplotan penjahat di penjuru dunia sama-sama kejam. Kami melihat orang babak belur di penghujung maut. Kami juga melihat orang yang sudah menjadi mayat dikencingi sebagai bentuk penghinaan terakhir. Brengsek, gumamku. Dan... kami menemukan anak Tuan Charlie disekap di salah satu kamar, tubuhnya penuh luka cambuk. Dan dari kondisinya itu, aku tidak mau membayangkan apa saja yang sudah ia lalui di sini bersama preman-preman brengsek yang tertawa tanpa bersalah itu. Untungnya, dia masih hidup walau kondisinya... mengenaskan.

Kami kemudian lanjut mencari Tuan Charlie, lalu kami menemukannya... Digantung di sudut gudang. Tubuhnya penuh memar, dijadikan samsak tinju. Dia... dia sudah mati.

Kami ingin mengamuk kembali. Adikku... adikku ingin menyerbu markas Sabit Merah ini lalu menghabisi mereka semua. Tapi... aku tahu, kami tidak akan bisa melakukannya hanya berdua saja. Gudang tempat Tuan Charlie disekap ini hanyalah gudang yang berisi sebagian kecil Sabit Merah. Gara-gara kejadian ini, aku tahu siapa Sabit Merah ini. Mereka bukan geng sembarang. Mereka adalah salah satu geng preman paling berkuasa. Aku dan adikku saja... jelas tidak akan cukup menumbangkannya. Belum lagi harus berurusan dengan pihak berwajib karena kudengar, gangster penguasa pastilah menjalin hubungan dengan pihak-pihak penting.

Ambisi kami, tidak lama membawa kami bertemu seseorang bernama Tuan Pascal. Wajahnya keeropa-eropaan, dan dia dipanggil Om Italia oleh seorang perempuan yang datang bersamanya. Perempuan itu memperkenalkan diri, Jessica, itulah namanya. Kami diajak untun bergabung kepada sebuah geng yang dibentuk untuk menghancurkan Sabit Merah serta Tirai Naga. Lalu, semenjak bergabung itulah, aku dan adikku diberi julukan baru oleh si Jessica ini, Sendok dan Garpu.

Batavia GangsterTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang