Gaban

716 46 2
                                    

-GABAN-

Aku tumbuh tidak dapat bersuara. Kadang aku berpikir, apa karena kekuranganku ini aku ditinggalkan kedua orang tuaku di panti asuhan dan sampai sekarang... tidak ada orang yang mau memungutku dari sini? Entahlah... Aku tidak pernah tahu, karena aku tidak bisa bertanya. Suaraku... tak pernah keluar.

Tapi, hidup di panti asuhan tidaklah seburuk itu. Mungkin ada tahun-tahun di mana kau mengharapkan ada seseorang yang memilihmu dan menjadikanmu bagian dari sebuah keluarga. Sampai akhirnya umurmu terlalu tua dan tidak ada yang menginginkanmu lagi, panti asuhan beserta orang-orangnya pun pada akhirnya terasa menjadi keluargamu.

Sebagai keluarga, aku selalu menjaga adik-adikku. Aku adalah orang nomor dua yang paling tua di sana. Nomor satunya adalah anak yang sama-sama tidak pernah diadopsi. Umurnya terpaut lumayan denganku, seharusnya dia tidak tinggal di panti asuhan lagi, tapi, karena dia dianggap kakak dan keluarga di panti asuhan, akhirnya pihak panti asuhan membiarkannya keluar masuk dan tinggal di sana. Nama kakakku itu adalah Monten. Bukan nama asli, tapi memang itu julukan yang cocok dengannya karena badannya yang begitu besar. Monten juga merasa julukan itu cocok dengannya sehingga tidak masalah. Bahkan, ia lebih menyukai nama itu dibandingkan nama aslinya sendiri.

Monten adalah orang yang sangat kuat. Sebagai kakak laki-laki tertua, dia keras dalam mendidik adik-adiknya. Dia juga tidak pernah kalah dalam berkelahi melawan siapa pun. Aku sangat mengaguminya. Dia adalah orang terkuat di Bumi!

Tapi... siang itu, saat aku baru selesai berjualan makanan, aku melihat Monten babak belur. Untuk pertama kalinya aku melihat sosok Monten kalah dan dihajar seperti itu. Aku bertanya manusia apa yang bisa membuatnya menjadi seperti itu? Jagoan kampung mana yang bisa melakukan hal mustahil seperti ini? Dan Monten pun menjawab, nama orang yang telah menghajarnya adalah Brandon.

Aku tidak pernah bertemu dengan Brandon. Yang kutahu, semenjak kalah dari Brandon, Monten sering pergi-pergi dan semakin jarang pulang ke panti asuhan. Tak berselang lama, aku pun tahu kalau ternyata Monten sudah bergabung dengan geng Brandon, yaitu Sabit Merah.

Aku tahu siapa Sabit Merah itu. Berurusan dengan geng-geng seperti itu bukanlah hal asing. Sebagai orang yang putus sekolah, aku lebih banyak menghabiskan waktuku di jalan, dan karena tidak dapat berbicara, aku mendengarkan banyak hal. Sabit Merah, dan Tirai Naga, dua dewa penguasa dunia bawah Jakarta.

Monten sendiri sudah membuat geng, kurasa dia berambisi untuk menyaingi kedua dewa itu. Tapi, karena dia kalah dari Brandon, mungkin dia dan gengnya sekarang diakuisisi menjadi bagian dari Sabit Merah.

Aku juga tahu, tidak ada untungnya bergabung dengan geng-geng seperti itu. Untuk uang? Mencari uang dengan cara salah seperti itu tidak akan membawa manfaat. Merrka menjual narkoba sebagai bisnis utama mereka mendapatkan uang. Benda brengsek itu sangat merusak, membuat orang yang sebelumnya baik menjadi buruk. Aku bersumpah untuk melindungi adik-adikku dari benda itu dan membuat mereka menjadi anak baik! Kalau mereka menjadi pecandu, bergabung Geng seperti kakaknya, tentu saja tidak ada yang akan mengadopsi mereka! Biarla kegagalan mempunyai keluarga itu menjadi milikku dan Monten seorang, anak-anak lain... jangan sampai.

Tapi... Tentu saja aku tidak dapat mengendalikan semuanya.

Beberapa adik-adikku ada yang membuat geng-geng. Kukira hanya untuk fun, gejolak anak muda. Tapi tetap saja tidak dapat kubiarkan! Kalau mereka hanya sekedar balapan dan nongkrong-nongkrong, itu tidak masalah! Yang penting jangan sampai memakai narkoba karena itu jelas menghancurkan masa depan mereka!

Suatu malam, aku berniat menyusul mereka dan menyuruh mereka pulang karena dari informasi pihak panti asuhan, besok hari ada pasangan yang ingin melihat-lihat. Bisa jadi itu kesempatan mereka!

Tapi... malam itu, aku melihat adik-adikku dipukuli. Bukan hanya itu, mereka juga dicekoki barang perusak itu secara paksa. Semua dilakukan untuk membuat mereka menjadi pecandu sehingga mereka yang ketagihan itu akan dapat dengan mudah diperbudak. Yang lebih mengagetkanku adalah ... yang melakukannya adalah MONTEN! Dia bersama Sabit Merah itu tertawa-tawa melihat jiwa muda keracunan!

Aku menuntut penjelasan. Nada suaraku yang tak dapat keluar mendapat olokan dari anak buah Monten. Namun, kakak laki-lakiku itu menyuruh mereka semua diam. Monten bisa bahasa isyarat sehingga hanya dia yang mengerti apa yang ingin kusampaikan pada malam itu.

Aku bertanya, kenapa dia melakukannya!? Aku menjelaskan kalau besok mereka-mereka itu bisa saja mendapat keluarga dan kehidupan yang layak! Tapi sudah begini... Kalau sudah begini... Semua itu mustahil!

Lalu, jawaban Monten membuatku terbelalak. Dia mengatakan kalau ini semua adalah hal biasa. Banyak orang lain yang terjerumus ke narkoba. Orang-orang yang tak punya siapa-siapa seperti kami, tidak akan ada yang memperhatikan. Satu-satunya jalan agar orang-orang terbuang seperti kami mendapatkan tempat di dunia ini hanyalah dengan kekuatan! Dan Monten mengatakan lebih lanjut kalau Sabit Merah! Brandon! Mempunyai itu semua!

Aku menolaknya. Aku berniat menyeret adik-adikku itu kembali ke panti asuhan dan mungkin bisa direhabilitasi sebelum terlambat. Tapi aku dihajar, oleh Monten dan juga anak buahnya. Monten yang sudah kuanggap sebagai kakak itu sudah berubah. Berubah semenjak bergabung ke geng setan Sabit Merah!

Pada malam itu, dengan tubuh yang mati rasa di setiap jengkalnya, aku bersumpah untuk menghancurkan Sabit Merah! Akan kuhadapi siapa pun yang mengganggu! Tak peduli Monten sekali pun! Geng-geng seperti ini tidak membawakan manfaat! Mereka adalah racun yang sangat berbahaya tapi entah kenapa hanya dibiarkan tumbuh! Kalau aku tidak bertindak, adik-adikku yang lain akan terkena dampak buruknya!

Tidak butuh waktu lama, ambisiku itu membawaku bertemu dengan seorang pria keturunan Italia. Dia tidak bisa bahasa isyarat, tapi, perempuan yang bersamanya mampu melakukan itu. Ia memperkenalkan diri, namanya Jessica. Dia tidak terlalu ahli dalam bahasa isyarat, tapi katanya, ia sengaja mempelajarinya sebagai persiapan bertemu denganku. Namaku akhir-akhir ini menjadi terkenal karena sering menghajar geng-geng yang meresahkan.

Jessica berkata, "Kenapa beraksi sendirian kalau bisa bersama-sama? Kau tidak sendiri! Kami juga ingin menghancurkan Tirai Naga dan Sabit Merah!"

Tangannya menjulur menawariku sebuah jabat tangan. Benar. Aku tidak akan bisa melakukannya sendiri. Karena itu, aku pun menerima jabat tangan itu lalu mengikuti mereka. Sejak saat itu, aku diberi julukan Gaban. Julukan yang sangat jelek. Tapi, karena mereka semua tidak ada yang mengerti kalaupun aku protes, akhirnya aku menerimanya saja.

Batavia GangsterTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang