22. Engap nih!

1.5K 219 4
                                    

Jarum jam sudah bergerak menuju angka 9, artinya nyaris satu jam lamanya Winter melamun ditepi jendela. Menatap kosong dedaunan yang bergoyang karena embusan angin.

Disisi kanan, kanfas, kuas dan pallet miliknya berserakan bahkan sampai berceceran dilantai. Namun Winter belum berencana membereskannya. Malah sibuk dengan pikirannya sendiri.

Winter menghela napas panjang. Mencoba mengusir pikiran pikiran buruk yang berpotensi membangkitkan kemuramanya lagi. Dia nggak mau malam ini berujung pada sesi menyedihkan seperti yang sudah-sudah.

Winter beranjak dari posisi. Sebenarnya dia nggak berencana keluar atau membeli sesuatu yang penting. Namun terlalu lama di kamar, akan membuat pikirannya melancong kemana-mana dan berakhir overthingking sendiri.

Usia meraih cardigan, dompet dan Hp dia keluar melewati pintu kamarnya. Winter berjalan cepat menuruni anak tangga, sayup sayup terdengar suara tawa dari arah kanan.

Winter berhenti sejenak di anak tangga terakhir. Pandangannya menyorot sendu ke arah ruang makan. Ibu tirinya, Lala dan Papi tengah makan bersama, entah lagi makan apa yang pasti mereka tertawa bahagia. Seperti gambaran keluarga harmonis yang diidamkan semua orang. Sementara Winter hanya sebatas penonton yang keberadaannya antara ada-dan-tiada.

Dia tersenyum getir pada lantai keramik. Sejenak, Winter seolah terlempar pada kenangan masa kecilnya. Dulu dia pernah sebahagia itu. Sebelum akhirnya didewasakan oleh kenyataan.

"Non, Cassie?"

Winter buru-buru mendongak, menghalau air matanya yang nyaris mendesak keluar ketika suara Bibi terdengar. Dia baru menoleh seraya memaksakan seulas senyum. "Iya, Bi?"

Bibi memindai penampilan Winter, lalu bertanya. "Non mau kemana malam malam begini? Sudah jam sembilan, loh."

"Mau nyari angin bentar. Bosen dikamar terus, Bi."

"Sudah malam, nanti masuk angin, non. Dirumah aja atuh."

Winter terkekeh manis. Dia melirik meja makan sejenak, memastikan mereka tidak menyadari keberadaannya. Dan bagian paling sedihnya, mereka memang tidak pernah menganggap keberadaan nya selama ini.

"Jangan bilang Papi aku keluar, cuma sebentar. Nggak lama."

"Beneran ya, non? Langsung pulang ya?"

"Cassie usahain."

Winter nyegir sebelum melesat dengan langkah gesit menuju pintu samping. Untuk malam ini, dia memilih jalan kaki.




*




Usai berperang dengan ratusan bawang merah sambil berurai air mata--pedih sebab Bunda melarang pakai kacamata pelindung--Naresh akhirnya terbebas dari jerat hukuman yang amat menyiksa.

Bunda memantau dirinya tanpa beranjak sedikitpun. Seolah memastikan bahwa Naresh nggak akan kabur atau melakukan serangkaian siasat licik. Bahkan ketika Naresh melancarkan alibi berupa pura-pura kebelet pun, Bunda nggak memberikan celah. Justru mendamprat Naresh dengan sesi khotbah super panjang.

Naresh serasa kerja rodi hari ini.

Setelah bergelut selama hampir 3 jam mengupas kulit bawang, Naresh tepar. Sekujur tubuhnya nyeri, remuk, perih dan pegal dimana-mana seperti baru digebukin satu RT.

Sebenarnya Naresh mau langsung rebahan habis kelar mandi. Tapi luka lukanya perlu diobati dulu sekalian menghirup udara segar. Naresh eneg mencium aroma bawang terus dari tadi.

Winter  ✓ Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang