Winter kembali berkunjung, 3 hari setelah Naresh siuman.
Winter mendorong pelan pintu coklat itu sampai terbuka. Bunda menoleh, lalu merekahkan senyum. "Winter? Sini."
Dia mendekat usai menaruh sesuatu di meja, Naresh menatapnya. "Kamu dari rumah atau darimana?"
"Dari rumah, maaf aku baru bisa jengukin hari ini, bunda."
"Duduk dulu sini, Winter."
"Hng--disini aja, nggak apa-apa, Bunda."
Bunda tersenyum hangat sebelum mengalihkan mata ke Naresh yang masih setia menggenggam tangannya seolah nggak mau lepas. "Nak?"
Naresh menatap lemah. "Bunda pergi bentar, ya? nanti kesini lagi. Kamu sama Winter dulu, nggak apa-apa, kan?"
Awalnya cowok itu kelihatan nggak rela, tapi akhirnya menyetujui dan melepaskan tangan Ayura. "Titip Nana ya, Winter, nanti Bunda balik lagi kesini kalau urusannya sudah selesai."
"Iya, Bunda hati-hati dijalan."
Bunda mengecup kening putra bungsunya. "Bunda tinggal dulu ya, Aresh." Sebelum wanita berbaju putih dengan bawahan rok tutu warna cokelat itu menghilang dibalik pintu.
Suasana hening.
Winter menarik di kursi yang diduduki bunda lalu duduk disana. Naresh menatapnya lekat dan itu sukses bikin Winter agak salting. Dia mengalihkan pandangan ke infus yang tertancap di punggung tangan Naresh. Lega. Dia lega karena Naresh sudah siuman. Melihat keadaannya kemarin.. rasanya.. Winter nggak sanggup.
"Kenapa kayak gini sih." Winter menatapnya sendu. "Lo bikin gue takut tau nggak, Na."
Jarinya bergerak pelan. Winter menaruh tangannya diatas kasur yang langsung diraih. Naresh menyentuh telapak tangan Winter dengan jari-jari yang lebam, lalu membentuk pola abstrak disana.
"Bintang.."
"Emm.. bulan sabit?"
"Segitiga.."
Jari Naresh bergerak lagi.
"H?" Winter menatapnya yang dibalas anggukan kecil.
Jarinya bergerak lagi.
"A"
Lagi.
"U"
Dan lagi.
"S"
Winter mengangkat wajah, Naresh berkedip dua kali. "Haus?"
Mengangguk.
Winter cekatan menuang segelas air putih, tak lupa menaruh sedotan disana sebelum menyerahkannya ke Naresh. "Bentar, gue bantu."
Naresh menurunkan masker oksigen yang melekat di wajahnya sebelum minum pelan-pelan. Naresh memegang tangan Winter yang menyodorkan gelas sebelum balik tiduran lagi.
Hampir setiap jengkal wajahnya lebam dan membiru. Hidungnya tergores. Bibirnya robek serta terdapat luka guratan sepanjang 5 senti di alis kirinya. Kedua obsidian itu menatap Winter dengan tatapan layu. Tubuhnya begitu lemah dan tak berdaya seolah baru saja menenggak seliter racun.
Menaruh gelas, Winter menatapnya lagi. "Suara lo hilang?"
Naresh menggeleng usai memasang kembali masker oksigennya. Dia menarik bajunya ke atas, menampilkan perban yang melekat di perut kiri bawah, menutupi jahitan lukanya. Kemudian membuat pola-pola huruf lagi ditelapak tangan Winter.
S.. A.. K.. I.. T
Winter menghela singkat. "Yaudah, gausah ngomong. Itung-itung jadi manusia kalem buat beberapa hari, biasanya kan tingkah lo kayak orang kesurupan reog."
KAMU SEDANG MEMBACA
Winter ✓
Humor(Completed) "Ter, menurut lo kenapa ayam tuh dikasih nama ayam? Kenapa nggak sapi aja atau.. kudanil gitu?" "Kalau gue gorok leher lo sekarang, kira-kira lo mati apa nggak napas aja, Na?" Nareshwara itu tinggi ✅ Ganteng ✅ Suaranya bagus ✅ Jago gom...