30. Dialog hujan

1.3K 199 45
                                    

Siang ini turun hujan, lumayan deras bikin para guru-guru jadi mager jalan ke kelas dan berimbas pada jam kosong. Surga dunia banget, bisa molor, main game atau nyeduh pop mie didalam kelas sambil nobar film.

Tadinya Naresh ikut main kartu bareng Juna, Biru, Deniar, Robi dan para ciwi ciwi yang kebetulan ikut nimbrung dibelakang. Tapi ya lama-lama bosan juga. Emang dasarnya aja nggak bisa anteng. Dia pun menyandera gitar Juna sebelum melangkah keluar kelas.

Dia tengok kanan kiri, cari spot yang pas buat genjrengan. Lalu pilihannya jatuh pada tangga barat yang terhubung langsung sama gedung IPA. Tempatnya sepi karena pasti pada betah dikelas daripada keluar. Menaikan tudung hoodie, Naresh menata langkah kesana.

Naresh duduk diundakan agak tengah. Habis setel setel bentar, baru deh dia mulai memetik gitarnya lalu bernyanyi lirih. Dia sudah macam budak galau yang baru dilanda patah hati, mana nyanyinya menghayati banget. Turut didukung sama gemericik air hujan yang jatuh ke kanopi.

"Sometimes I wish

That I could still call you mine

Still call you mine

Now all I've got is

The stain on my blue jeans

The only way I could

Remember that you were once mine"

Tanpa sengaja, kedua obsidianya menangkap dua sosok yang berlari menerobos hujan. Naresh refleks berhenti memetik gitar, buat melihat mereka yang jalan dari labas. Si cowok pegang payung polkadot sambil semi merangkul bahu si cewek. Persis dua pemeran utama yang di film film romantis. Sementara Naresh cosplay jadi second lead yang tugasnya cuma ngelihatin dua pemeran utama uwu-uwu an sambil merana.

Nggak bakal jadi masalah kalau dia nggak mengenali dua sosok tadi. Sayangnya, salah satu dari mereka Naresh kenali betul, bahkan dari detik pertama.

Naresh memantau mereka sampai keduanya menepi dikoridor IPA. Mereka berdua bicara sebentar yang keliatannya cuma sebatas ucapan 'terimakasih' sebelum si cowok balik menerobos hujan lagi sebelum setelahnya melempar senyum cerah.

Si cewek berlalu naik tangga sebelah sana sambil menenteng kresek hitam. Naresh menghela napas berat, kok perih ya? Wah, nggak benar nih. Naresh menggeleng-geleng. nggak, nggak, ini salah. Dia terus mencoba denial.

"Butuh soundtrack sedih, gak?"

Naresh spontan menoleh kebelakang, lalu mendesis jengkel. "Kenapa lo selalu nongol diwaktu yang nggak tepat."

Jeriko angkat bahu, dia ikut duduk tepat satu undakan diatas Naresh. Lengannya bertumpu dilutut, dengan dua kaki dibuka lebar. Pandangannya tertuju ke dedaunan yang basah. "Tolol."

Naresh nggak menyahut, memilih memetik gitar lagi, meneruskan lagu yang tadi.

"Naksir temen sendiri adalah ketololan paling mutlak didunia."

Naresh menulikan telinga, menganggap Jeriko nggak pernah ada disana.
Dia nyanyi lagi dengan suara yang dicemprengkan walau jatuhnya malah aneh soalnya suaranya nggak ada cempreng cemprengnya sama sekali.
Niatnya sih biar Jeriko risih dan pergi. Yang sialnya nggak mempan.

"Cuma ada dua kemungkinan, ketawa ngakak sampe nangis karena nyadarin kegoblokan sendiri, atau terobos aja walau tau endingnya makan ati."

"..."

"Nangis aja kali, lu kan cengeng."

"Shut up your cangkem!"

"Hari ini sepayung berdua, besok se altar berdua." Jeriko tertawa mengejek. "Eric mainnya sat-set, gak kek lo lamban kayak siput."

Winter  ✓ Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang