45. Distance

1.1K 201 43
                                    

Setibanya dirumah sakit, Jeriko menemukan Naresh duduk sendirian di kursi besi dengan kepala tertunduk lesu. Kedua tangannya bertaut dengan kaki terbuka lebar.

"Res."

Dia baru mengangkat wajah ketika suara Karina terdengar. Matanya merah, rambutnya berantakan dan lembab tak lupa bajunya yang basah kuyup dan mencipta tetesan air ke permukaan lantai rumah sakit.

"Thanks, Jer." Naresh menangkap ponselnya yang dilempar Jeriko, dibalas anggukan singkat.

Karina nggak berani tanya lebih lanjut karena wajah Naresh kelihatan nggak kayak biasanya. Memilih tetap bersama Jeriko, ketika anak itu melipir dengan ponsel melekat ditelinga, bertelepon dengan seseorang.

"Darling."

Karina menoleh. "Apa?"

"Lo udah mulai nyaman gue panggil gitu?" Jeriko tersenyum senang.

"Nggak juga."

"Maafin gue udah ninggalin lo tiba-tiba dan tanpa penjelasan waktu itu." Jeriko tiba-tiba mengatakan sesuatu yang nggak Karina duga. "Gue.. emang nggak tau diri. Maaf. Itu kan yang mau lo denger?"

"Nggak."

Jeriko meriah tangannya, menyisipkan jari-jari panjangnya disela jari Karina yang kelihatan ringkih. Lalu dikecup. "Maaf, Karina." Karina benci dengan dirinya sendiri yang selalu berdesir aneh tiap kali Jeriko menyebut namanya dengan suara lembut seperti itu. "Gue beneran sayang sama lo."

"Lo nggak." Tapi sisi lain didalam dirinya selalu menolak keras.

"Gue serius."

"Lo nggak pernah benar-benar serius sama apapun. Even dulu ataupun sekarang." Karina menunduk, tersenyum sinis.

"Gue nggak pernah seserius ini sebelumnya."

"Setelah hari itu, gue nggak pernah bisa percaya sama apapun yang lo katakan, Jer." Karina menarik lepas tangannya. "Semuanya kelihatan palsu. Perhatian lo, sikap lo, tindakan lo dan kata-kata lo. Semuanya palsu. Lo cuma main-main sama gue."

"Nggak." Jeriko membantah. "Rasa sayang gue ke lo bukan sesuatu yang palsu. Gue nggak pernah bohong kalau gue beneran sayang sama lo."

Karina terkekeh sinis. "Basi."

Nggak lama setelahnya, Naresh balik lagi, spontan memutar bola mata saat melihat Jeriko merangkul mesra Karina. Dia kelihatan risih tapi nggak kuasa menyingkirkan sepupu gilanya itu menjauh.

"Winter, baik-baik aja kan, Res?"

Naresh mengangguk lalu duduk berjarak satu kursi dari Karina. "Sampe basah kuyup gitu, but thanks udah nolongin sahabat gue."

"Hm."

"Dia ngelakuin itu bukan karena Winter temen lo."

Karina melirik dengki yang dibalas kedipan genit oleh Jeriko.

Tak berselang lama, terdengar suara langkah yang kian mendekat, ketiganya mengangkat wajah. Sosok pria paruh bayah muncul dengan raut wajah yang sama sekali tak menunjukan keramahan. Justru terlihat emosi tertahan disana. Berhenti setelah sampai didepan Naresh.

"Malam, Om. Cassie tadi ke--"

Bukan senyuman hangat atau sekedar ucapan terimakasih, Naresh justru mendapat sebuah tamparan keras dipipi. Rasa panas dan perih langsung menjalar dipipinya disusul rasa kebas.

Jeriko dan Karina mematung ditempat. Gisel dan Nata yang baru tiba dan berdiri di ujung lorong ikut tercekat saat tamparan keras tadi menggema dikoridor sepi rumah sakit pada pukul sebelas malam.

Winter  ✓ Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang