56. Pendar yang pudar

1.2K 194 39
                                    

Aku ingin menjadi
Mimpi indah dalam tidurmu
Aku ingin menjadi sesuatu
Yang mungkin bisa kau rindu
Karena langkah merapuh tanpa dirimu
Oh, karena hati t'lah letih..

"Winter?"

Panggilan bernada berat itu terdengar diselingi suara lagu yang terputar lirih melalui radio jadul sebuah toko bunga dipinggir jalan.

Pandangannya mengedar kepenjuru ruangan. Tangannya kembali meletakkan setangkai mawar putih yang tadi dia ia pegang guna mencari sang pemilik suara.

"Lo dimana?"

Aku ingin menjadi sesuatu
Yang s'lalu bisa kau sentuh
Aku ingin kau tahu
Bahwa ku selalu memujamu
Tanpamu, sepinya waktu merantai hati
Oh, bayangmu seakan-akan..

"Winter?"

Lagi. Suara lembut itu terdengar lagi. Tapi Winter tak kunjung menemukan sosoknya. Winter menyisir area lain, melewati beberapa rak berisi pot bunga matahari, bunga anggrek, bunga mawar serta deretan bunga-bunga lain yang bermekaran, mencipta aroma semerbak.

Kau seperti nyanyian dalam hatiku
Yang memanggil rinduku padamu, oh
Seperti udara yang kuhela
Kau selalu ada..

Lalu langkah Winter terhenti saat sosok itu berdiri tepat di ambang pintu. Menatap lurus ke arahnya. Senyumnya masih sama. Begitu teduh dan hangat.

Rambutnya masih selegam terakhir kali mereka bertemu, meski sedikit berantakan. Pemuda itu berbalik lalu berjalan lebih kedalam. Winter mengikuti. Punggung tegap itu kian menjauh usai melewati sebuah pintu kayu dengan ukiran kuno. Ia berjalan tanpa terganggu oleh ladang ilalang yang meninggi sebatas pinggang.

Bukan toko bunga lagi. Kini mereka berada disebuah ladang luas dengan hamparan ilalang sejauh mata memandang. Anginnya begitu kencang.

Winter baru sadar, mereka mengenakan pakaian yang berbeda dari yang terakhir kali mereka kenakan.

Hitam dan putih.

Winter memakai terusan hitam berbahan satin selutut. Sementara sosok itu memakai pakaian serba putih. Tubuhnya seperti diselubungi cahaya tipis yang berpendar hangat. Terlihat begitu indah dan nyaris tak nyata.

"Winter." Pemuda itu melambaikan tangan. Seolah menyuruh Winter mendekat kepadanya.

Winter mengangkat wajah. Semburat kekuningan memancar dengan hangat. Mencipta siluet tubuh tegap orang itu. Winter menyipitkan mata karena sedikit silau sebelum meneruskan langkah.

Kakinya berpijak tanpa alas kaki, bercumbu ria dengan tanah kering serta rerumputan halus yang tumbuh subur diladang itu. Ketika jarak mereka semakin dekat, hanya beberapa langkah lagi Winter bisa mendekapnya, siluet itu memudar dan lenyap perlahan. Pendar sang surya turut meredup begitupun senyum teduh diwajah sosok itu. Winter mengerjap berkali-kali tanpa memelankan langkah.

"Na!"

Suaranya disahut oleh embusan angin yang terasa sunyi. Cahaya kekuningan itu kian terkikis dan perlahan-lahan memudar. Winter menoleh kesegala arah.

Dalam sekejap, rona senja yang begitu indah lesap tertelan gulita.

Hening. Hampa. Kosong.

Winter  ✓ Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang