49. Permen cipok

1.7K 206 54
                                    

Naresh betulan nggak bisa menghadapi ini semua. Dia benar-benar mati kutu.

Gara-gara aduan nggak berbudi luhur sepupu jancoknya itu, Naresh jadi canggung mau menampakkan diri dihadapan Bunda. Wanita itu nggak marah atau menyindangnya kemarin.
Tapi tetap saja, Naresh tahu, apa yang dia lakukan bukan sesuatu yang benar.

Kedua kakaknya pasti juga pernah melakukan hal serupa--bahkan mungkin bisa jadi lebih parah--tapi nggak sampai ke-spill blak-blakkan kayak gini!

Mulut Jeriko memang minta digilas pakai roda truk tronton.

Niat awal buat men-skip meja makan pagi ini gagal karena dirinya dihadang duluan dan diseret paksa buat sarapan sama Bunda. Dimana hal itu berarti Naresh tak memiliki kesempatan kabur atau melancarkan alibinya lagi.

Apa boleh buat, Naresh pasrah. Dia duduk dengan kepala tertunduk dalam. Bunda mengajaknya bicara seperti biasa, dengan suara hangat dan ceria, tapi Naresh hanya berdehem sesekali. Terlalu canggung mengucap kata.

"Buru-buru banget mau ngapain? Masih juga jam setengah 7 kurang."

"A-aku belum ngerjain pr." Naresh menyahut kagok. Mulutnya mengunyah perlahan sesekali meneguk air karena kerongkongannya terasa kering dan susah menelan.

"Pr ya dikerjain dirumah dong, masa disekolah baru ngerjain."

"Kemarin.. lupa."

"Oh, kalau sama pacarnya nggak lupa, ya, Nar?"

Naresh tersedak karena kalimat yang dilontarkan Bunda. Bunda langsung terkekeh lalu menuang air ke gelas Naresh seraya mengusap kepalanya.

"Udah punya gaji berapa cium-cium anak gadis orang?"

Bunda tersenyum geli melihat telinga Naresh yang memerah. "Kalau diajak bicara ditatap lawan bicaranya, bukan nunduk kayak begitu, Nareshwara."

Naresh angkat wajah sedikit, tapi masih enggan menatapnya.

"Nar."

".. hum?"

"Liat Bunda coba."

Matanya bergerak perlahan, lalu membalas tatapan Ayura. Hanya 3 detik sebelum menunduk lagi. Bunda tertawa pelan. "Bunda nggak marahin kamu, gausah tegang gitu mukanya."

Naresh berdehem, lanjut makan meski rasanya sangat canggung disini.

"Nana udah gede ternyata." Goda Bunda yang mana bikin Naresh makin salah tingkah. "Jadi.. cewek yang kamu omongin waktu itu Winter? Kamu beneran pacaran sama dia?"

Naresh mengangguk kaku. Gerak geriknya sangat kikuk seperti orang lagi disidang karena kesalahan fatal. "Hm-mh."

Bunda tersenyum lembut. "Sebenarnya belum boleh loh cium cium kayak gitu, meskipun dia pacar kamu--wait." Bunda mengerutkan kening serius. "Kamu nggak maksa dia, kan?"

Naresh menggeleng kencang. "Gak! Aku gak maksa! Cuma--cu-cuma--" Naresh gelagapan. "--kebawa suasana.. hng.. dikit." sambungnya lirih.

Bunda menghela napas. Sebetulnya sudah agak mau ketawa pas lihat wajah Naresh pucat banget dan mendadak belibet ngomong. "Oke, Bunda nggak marah atau ngelarang kamu pacaran sama Winter apalagi sampai nyuruh putus, enggak."

Jeda.

"Tapi, harus tau batasan, ya? Pacarannya yang sehat. Winter-nya dijagain. Kamu juga tau dia berasal dari keluarga yang nggak sama seperti kita. Pasti butuh waktu lama buat bangun kepercayaan sama laki-laki. Jangan dikecewain."

Naresh mendengarkan, lalu mengangguk.

"Jangan diajakin aneh-aneh." Bunda tersenyum penuh arti. "Kalau sampai kalian khilaf dan kebablasan, terus terjadi sesuatu yang gak diinginkan. Bunda nggak akan mikir dua kali buat nikahin kalian berdua."

Winter  ✓ Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang