Prolog

13.6K 1.6K 115
                                    

بسم الله الرحمن الرحيم

Assalamualaikum,

Terima kasih banyak untuk yang mau baca cerita ini.

Ini bukan cerita Teen Fiction ya, karena pemeran utamanya sudah bukan remaja lagi, dan mungkin bahasanya jaga agak baku. Satu permintaan penulis; jangan pernah bawa cerita orang ke lapak ini, bawa cerita ini ke lapak orang, dan banding-banding-in. Eh enggak deh, itu bukan satu, wkwkwk.

Diawali dengan basmallah, semoga cerita ini tidak berakhir dengan ending nyesek parah, huhu....

———

Biru; begitulah pemandangan yang terlihat sejauh mata memandang, dari atas kapal yang berlayar membelah luasnya lautan.

Awalnya bocah berusia 6 tahun-an itu begitu excited ketika sang ibu membawanya kemari, karena sungguh ini kali pertama dia melihat dan merasakan langsung naik kapal besar yang biasanya hanya dia lihat di buku-buku pelajaran. Namun, setelah dua jam berlalu hanya melihat pemandangan yang sama, dia pun merasa bosan dan mulai pusing. Apalagi sejak pergi meninggalkan rumah, ibunya belum juga memberi tahu mereka akan pergi ke mana.

Tidak menyerah, akhirnya bocah itu kembali mendongak menatap wajah ibunya. Dia janji ini kali terakhir dia bertanya, jika ibunya tidak menjawab lagi, maka dia akan tidur saja.

"Mama."

Maira masih hanyut dalam lamunannya, pandangannya sejak tadi lurus pada lautan dengan ombak yang bergelombang tenang. Entah kenapa, dia merasa tidak yakin dengan keputusannya untuk pergi ke kota Malang; menetap di rumah tantenya. Namun, jika dia tidak pergi ke sana, ke mana lagi dia harus tinggal?

Bu Nur, wanita baik yang sudah dia anggap seperti ibunya sendiri telah pergi dua bulan lalu karena sakit kanker yang dideritanya. Semua harta yang dia punya pun telah habis tanpa sisa untuk biaya pengobatan, hingga terpaksa meminta dua orang pekerja setianya untuk kembali pulang ke kampung halaman mereka. Dan setelah Bu Nur tiada, Maira tinggal di rumah kawan baik Bu Nur. Namun, lama-lama dia segan karena merasa terlalu merepotkan. Hingga akhirnya, dia menghubungi sang tante dan menceritakan semuanya, dengan rasa iba sang tante meminta agar Maira dan Haidar pulang ke Malang, tinggal di rumahnya.

Saat itu Maira merasa menerima tawaran tantenya adalah pilihan terbaik, tapi kini dia malah kembali gamang. Banyak ketakutan yang menghantui pikiran, dan itu tidak bisa membuat Maira tenang. Maira sendiri pun tidak tahu kenapa dia harus merasa takut.

"Mama," panggil Haidar sekali lagi, sambil menggoyangkan lengan ibunya dengan pelan.

Maira akhirnya menoleh, lalu tersenyum dan mengusap rambut anaknya.

"Kenapa, Sayang?"

Haidar malah diam, tapi dua bola matanya yang indah tidak lepas terus memandang wajah sang ibu.

"Kita mau ke mana? Apa masih jauh?"

"Kamu capek ya? Kepalanya masih pusing? Tidur aja ya?"

Haidar yang duduk dalam pangkuannya itu kemudian memeluk tubuhnya, kepala di sandarkan pada dada sang ibu, lalu kembali mendongak.

"Mama, apa kita mau bertemu Papa?"

Tuhan, kenapa harus pertanyaan itu yang keluar dari mulut Haidar? Sungguh, itu adalah pertanyaan yang amat Maira takutkan.

Maira kembali membuang pandangannya ke depan, matanya terlihat mulai berkaca-kaca. Bukan kali pertama dia mendengar pertanyaan seperti itu, tapi entah kenapa hatinya selalu nyeri tiap mendengarnya.

Dan sialnya, air mata itu benar-benar jatuh hingga mengenai wajah Haidar. Haidar menunduk, merasa bersalah.

"Mama, jangan nangis," pinta Haidar sambil menghapus air mata ibunya dengan tangan mungilnya begitu lembut.

"Maaf."

Harusnya Mama yang minta maaf, Nak.

A/N: Harap-harap kalian belum lupa dengan alur kisah Di Usia 16, biar gak lieur bacanya, hehe.

Takut Salah SinggahTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang