14. RASA KAGUM

319 57 45
                                    

Hari ini adalah hari minggu dimana tidak ada kegiatan sekolah. Matahari pagi sudah mulai masuk melewati celah-celah jendela kamar Alana. Namun, Alana masih terlelap dalam tidurnya. Bulu mata yang panjang dan kulit yang halus ditemani luka memar yang masih sedikit membekas di wajah gadis itu.

Alana hari ini tak ada kegiatan lain selain tidur, makan, belajar dan membaca novel yang tengah ia selesaikan. Kurang lebih lima belas menit kemudian, Bi Inah datang masuk ke kamar Alana membawakan sarapan untuk gadis yang masih tertidur lelap di atas ranjangnya.

Bi Inah menaruh nampan berisi susu dan roti tawar dengan selai coklat di atas nakas. Bi Inah membuka tirai dan dengan cepat sinar matahari pagi menelusup masuk mengenai mata Alana. Alana pun terusik dari tidurnya, matanya terbuka sempurna dan mendapati Bi Inah yang sedang berdiri di dekat jendela.

"Eh, Non. Maaf ya, Non jadi kebangun," ucap Bi Inah.

Alana membalasnya dengan senyum, lalu ia mengikat rambutnya dengan rapih menggunakan ikatan bewarna pink yang ia ambil dari bawah bantal.

"Oh, ya. Non, Bibi udah bawain sarapan tuh."  Bi Inah menunjuk ke arah nakas.

"Iya Bi, Makasih ya."

"Yaudah, Bibi turun dulu. Nanti Non Alana kalau butuh apa-apa bilang Bibi aja ya,"

"Iya, Bi."

Bi Inah bergegas meninggalkan kamar Alana, tak lama setelah Bi Inah keluar masuklah Arwan, Papa Alana. Yang kebetulan hari ini libur bekerja.

"Baru bangun?" tanya Arwan lalu mengambil posisi duduk di tepi ranjang milik Alana.

Alana hanya tersenyum menjawabnya.

"Gimana? Lancar sekolahnya?" tanya Arwan lagi.

"Lancar Pa," jawab Alana.

"Kalau sama Maya? Udah akur selama Papa nggak ada di rumah?"

Alana bungkam, ia tak mungkin menceritakan yang sejujurnya. Kalau ia menceritakan sejujurnya bisa-bisa Maya dan ibunya, Sinta. Makin menyiksa dirinya di rumah ini.

Alana menghela napas lalu menjawab. "Akur kok, Maya selalu baik sama Alana." Bohong! Realitanya Maya selalu menyiksa Alana. Tak hanya fisik tetapi batin juga ikut tersiksa.

"Bagus deh kalau kalian udah akur, Papa seneng dengernya." Arwan mengelus rambut Alana dengan sayang. Ia benar-benar sudah menganggap Alana sebagai putri kandungnya sendiri.

"Kok tumben Papa kesini? Ada apa emangnya?" tanya Alana menoleh ke Arwan.

Arwan memilih diam, sebenarnya ada suatu hal penting yang harus ia ceritakan. Rahasia dirinya bersama Alm. Husein, Papa Alana. Rahasia ini sudah mereka simpan sejak Alana masih kecil. 

Husein pernah berkata kalau Alana sudah berusia tujuh belas tahun, ia sendiri yang akan menceritakannya. Namun kenyataan berkata lain, sebelum Alana berusia tujuh belas tahun. Husein sudah pergi terlebih dahulu.

Arwan akhirnya tak membuka suaranya, ia memilih untuk tetap diam menatap Alana dengan sayang. Ia merasa bahwa ini bukan waktunya untuk menceritakan rahasia dirinya dengan Husein yang sudah ditutupi hampir tujuh belas tahun lamanya.

"Kok Papa diem? Alana kan barusan nanya."

"Nggak pa-pa dong kalau Papa kesini, emangnya nggak boleh?" Arwan terus mengelus rambut Alana lalu menarik tubuh Alana dalam dekapannya.

Tak biasanya Arwan seperti ini, Alana pun merasakan seperti ada sesuatu yang Arwan ingin katakan tetapi ia tidak tau apa itu.

Tak sengaja saat Arwan tengah memeluk Alana, seorang gadis yang hendak berjalan menuju kamar mandi yang letaknya harus melewati kamar Alana tiba-tiba mendadak berhenti. Dengan rasa penasaran ia memilih untuk sedikit mengintip dari balik dinding.

Tan - LanaTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang