4. BELUM BISA MENERIMA

490 71 59
                                    

Alana membuka pagar rumah milik Alm. Papa dan Mamanya itu. Begitu menjulang tinggi pagar hitam dengan dihiasi tanaman disekitarnya. Alana masuk dan kembali menutupnya. Keadaan rumah terlihat sepi saat ini. Mungkin hanya ada pembantunya saja didalamnya saat ini.

Alana berjalan masuk ke dalam rumah, ia membuka pintu depan dan segera menuju kamarnya di lantai dua.

Saat hendak ingin menaruh tas miliknya, mata Alana langsung terfokus kepada sebuah bingkai foto. Itu adalah bingkai foto berisi dirinya saat kecil bersama Husein dan Anjani, Alm. Papa dan Mamanya.

Alana meraih bingkai foto bewarna hitam lalu menarik kursi meja belajar dan mendudukinya. Menatap dengan sendu foto tersebut, rasa kangen itu menghantuinya saat ini. Tanpa sadar air mata Alana turun begitu saja, Alana buru-buru menghapus air mata itu, Alana tidak mau berlarut-larut dengan kesedihan. Alana harus bahagia, karena Alana yakin kedua orang tuanya pasti sudah bahagia disana kan?

"Pah, Mah. Alana kangen," lirih Alana berbicara sembari menatap foto kedua orang tuanya. Lalu Alana menaruh kembali foto tersebut. Alana merasakan pipinya yang masih sakit bahkan kini masih memerah bercampur dengan sedikit warna biru.

Alana mengambil sebuah kaca yang berada di atas nakas, Alana berkaca melihat seberapa parah lukanya itu, Ternyata memang terlihat parah. Karena tonjokan Tristan tadi begitu kencang hingga mampu membuat Alana terjatuh pingsan.

Tok..tok..tok.

Tiba-tiba terdengar suara ketukan pintu yang disusul suara perempuan, Alana sangat mengenali suara itu. Itu adalah suara Bi Inah, pembantu dirumahnya yang begitu menyangi Alana bak anak kandungnya sendiri.

Bi Inah pernah bercerita pada Alana bahwa anak perempuannya sangat mirip dengan Alana. Cantik, senyumnya manis dan juga ramah kesemua orang, tapi sayang anaknya Bi Inah meninggal karena kecelakaan. Maka dari itu Bi Inah sangat menyayangi Alana sejak pertama kali bertemu Alana.

"Non Alana sudah pulang?"

"Sudah, Bi."

"Non mau makan sekarang atau nanti?" tanya Bi Inah dari luar kamar.

"Nanti aja Bi, Alana mau mandi dulu. Nanti Alana turun samperin Bibi." Teriak Alana dari dalam kamar, Alana kini sudah berada didalam kamar mandi jadi tidak mungkin Alana membuka pintu.

"Ya, udah. Bibi turun ya, nanti panggil aja bibi kalau Non Alana mau makan," Pamit Bi Inah lalu turun menuju dapur.

Alana segeralah mandi membersihkan diri, dan setelah tiga puluh menit kemudian. Alana telah selesai mandi dan sudah memakai baju. Alana memakai kaos bewarna putih dengan celana pendek selutut. 

Alana segera turun menuju dapur mencari Bi Inah, karena Alana sudah bisa merasakan cacing dalam perutnya itu sudah berbunyi meminta makan.

"Bi Inah." Panggil Alana saat sudah didapur tapi tak menemukan Bi Inah. "Bi Inah." Panggil Alana sekali lagi, barulah Bi Inah menyahut Alana. Bi Inah baru saja keluar dari kamar mandi dan segera menghampiri Alana.

"Kenapa Non Alan-" belum sempat menyelesaikan ucapannya tadi, Bi Inah langsung dikejutkan dengan luka memar yang berada di pipi Alana. "Ih, Non Alana kenapa pipinya? Bilang sama bibi siapa yang udah mukulin Non sampai kayak gitu?" tanya Bi Inah khawatir.

Alana tersenyum pada Bi Inah. "Ini cuman kepentok meja doang ko Bi, nanti juga sembuh sendiri." Jawab Alana santai tetapi Bi Inah tetap khawatir.

"Non duduk disana dulu." Bi Inah menyuruh Alana untuk duduk di kursi meja makan. "Bibi mau ambil obat buat luka Non,"

"Nggak usah Bi." Tolak Alana.

"Non, nanti kalau Tuan tau Non Alana kayak gitu yang ada Bibi disalahin, Nggak mau ah Bibi. Lagian kalau nggak diobatin nanti luka Non nggak sembuh." Bi Inah langsung meninggalkan Alana mencari kotak obat.

Tan - LanaTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang