21. TERPUKAU

384 57 76
                                    

Di sebuah taman dekat perumahan Mawar terlihat dua orang tengah duduk di bangku panjang depan sebuah ayunan. Angin malam ditemani suara binatang malam mewarnai kesunyian.

"Lo abis dari mana?" tanya Ibram pada Alana. Perempuan itu kini tengah duduk di samping lelaki yang baru saja melepas jaket hitam yang ia kenakan.

Perempuan yang ditanya hanya diam. Hingga, saat lelaki itu menoleh. Padangannya langsung tertuju pada kantung mata milik perempuan di depannya. "Lo abis nangis ya?"

"Nggak kok, ini abis kelilipan aja." Alana mengeles.

"Oh, gitu. Kirain gue, lo abis nangis."

"Lo sendiri abis dari mana? Terus kenapa bisa dikejar sama geng motor kayak gitu?" tanya Alana sedikit penasaran.

"Gue si abis dari rumah temen, dan gue sama mereka emang ada masalah gitu. Cuman ini masalah cowok, lo nggak boleh tau."

"Masalah pembunuhan?" tanya Alana membuat Ibram terdiam.

Shit! Bagaimana Alana bisa tau? Apa jangan-jangan ia sempat mendengar ucapan Alex?

Ibram diam seribu bahasa. Semua anak SMA Garuda Emas tak mengetahui masalah ini, masalah yang sudah Ibram tutupi beberapa minggu belakangan. Lalu, sekarang perempuan yang berada di depannya mengetahui rahasia besar dirinya, gawat!

"Kenapa diam, Bram?" tanya Alana.

"Lo tau dari mana, Lan?"

"Gue nggak sengaja denger ucapan geng motor sama lo tadi, sorry ya."

Ibram menoleh ke arah Alana. Ia menatap perempuan di hadapannya itu, cantik. Satu kata yang keluar dari lubuk hati Ibram terdalam. "Pantes aja, Tristan suka sama ni cewek, orang cantik begini." gumam Ibram, salfok.

"Jadi lo beneran bunuh orang?" tanya Alana memastikan.

"Iya," jawab Ibram, singkat.

"Kok bisa sih? Lo nggak takut dosa apa?"

"Gue nggak sengaja, Lan. Lagipula itu bukan salah gue juga," jelas Ibram.

"Sekarang, gue mohon banget sama lo. Tolong jaga rahasia ini," pinta Ibram.

"Tapi bukannya seorang laki-laki harus berani bertanggung jawab?"

"Tapi, masalahnya bukan sekarang waktunya. Gue masih belum siap, Lan."

Alana menghela napas gusar, ia tak tau harus bagaimana. Tetapi saat melihat wajah Ibram yang begitu panik. Alana terpaksa harus memilih menutupi rahasia terbesar Ibram.

"Makasih, Lan."

"Sama-sama."

"Lo mau gue anter pulang?" tawar Ibram.

"Nggak usah, gue bisa pulang sendiri, Bram." Alana berdiri dari bangku yang ia duduki. "Kalau gitu, gue pulang dulu ya. Lo hati-hati, sampe rumah obatin luka lo!" pesan Alana tersenyum pada Ibram.

Alana lalu berjalan keluar dari taman meninggalkan Ibram dengan rasa sedikit mulai tertarik pada perempuan itu. Walaupun,  penampilannya yang sedikit katro. Tetapi Ibram bisa akui kecantikan Alana begitu natural.

"Ini yang gue cari."

***

Cahaya matahari pagi mulai menelusup masuk melewati sela-sela kamar Alana. Seperti biasanya gadis satu ini tidak pernah bangun terlambat, ia selalu tepat pada waktunya. Alana mengambil tas hitam miliknya yang tergeletak di atas kasur lalu kemudian keluar dari kamarnya.

Alana menuruni tangga dan melihat di ruang makan ada Arwan yang tengah duduk sambil menikmati sarapannya.

"Pagi, Pa," sapa Alana, lalu menarik kursi meja makan.

Tan - LanaTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang