Hujan deras turun malam ini menemani kesunyian Alana yang tengah duduk seorang diri di kursi meja belajar. Perempuan itu seperti biasanya selalu menuliskan semua hal yang terjadi di setiap harinya ke dalam buku dairy bewarna pink yang sudah menjadi temannya sejak SMP.
Tangannya bergerak melakukan aktifitas tersebut, terkadang Alana selalu ikut terbawa dalam perasaannya saat menulis kata perkata dalam setiap tulisan yang tertulis di dalam dairynya.
Mengingat kejadian tadi pagi membuatnya takut bertemu dengan Maya, perempuan itu benar-benar sudah keterlaluan dan kelewat batas. Ia selalu mencari cara agar Alana tersiksa untuk kebahagiaannya sendiri, tertawa di atas penderitaan Alana adalah hobi Maya.
Setelah Alana selesai menulis dairy miliknya, perempuan itu terfokus kepada sebuah foto yang terpajang nyata di atas meja belajarnya. Sebuah bingkai hitam elegan dengan foto yang begitu tentram berhasil membuat Alana sedikit menetaskan air matanya.
Perempuan itu menyapu setitik air mata yang turun membasahi pipinya dengan telapak tangannya. Melihat foto Alm. Ayah dan Alm. Ibunya di foto tersebut berhasil membuat rasa rindu kepada kedua sosok hebat itu semakin membesar.
"Ayah, Ibu. Alana kangen, Alana pengen banget ke makam tapi Alana nggak punya waktu. Di rumah Alana selalu bantuin Bi Innah masak, nyuci, ngepel, dan ngerjain tugas yang disuruh Mama Sinta dan Maya. Bahkan sabtu dan minggu Alana selalu ke pakai untuk Alana belajar," lirih perempuan itu miris. "Tapi Ayah sama Ibu tenang aja, Alana bahagia kok disini. Ada Papa Arwan yang sayang sama Alana, dia selalu jaga Alana seperti anak kandungnya."
Alana tersenyum tipis memandangi foto kedua orang tuanya. "Alana janji, Alana secepatnya bakal ke makam Ayah sama Ibu." Tangan Alana mengusap foto kedua Alm kedua orang tuanya dengan senyum yang terpahat di bibirnya.
***
Hari ini tepat empat hari Alana dan Tristan berantem, di antara keduanya tak ada satu pun yang berniat untuk meminta maaf terlebih dahulu. Bahkan Alana yang biasanya berteriak dan selalu mendatangi kelas Tristan kini sudah tak terlihat lagi. Tristan pun jarang sekali melihat Alana ke kantin, ia terkadang hanya melihat Arif dan Sisi yang berada di kantin.
Sebenarnya Alana kemana? Apa dia nggak kangen? Jujur saja Tristan kangen sama semua tingkah ke kanak-kanakan perempuan itu.
Tristan benar-benar bisa merasakan bagaimana hari-harinya tanpa seorang Alana Anatasya. Harinya yang biasa bewarna karena Alana kini semua terasa hampa, tak ada senyuman bahkan perhatian dari perempuan itu.
Ia bahkan sampai sekarang masih binggung kenapa Alana bisa marah kepada dirinya.
"Lo kenapa bengong mulu sih, Tan?!" tanya Rayhan, yang tengah duduk di depan Tristan. "Kalau ada masalah cerita sama kita-kita," lanjutnya.
"Gue nggak pa-pa, santai aja."
"Nggak usah bohong lo, Tan. Muka lo tuh keliatan banget ada masalah," ucap Rayhan.
Guntur yang sedari tadi hanya memperhatikan Tristan, sahabatnya. Kini baru saja menepuk pundak lelaki itu. "Lo masih marahan sama Alana?"
"APA? LO MARAHAN SAMA ALANA?!!" seru Bima yang terkejut saat mendengar ucapan Guntur.
"BACOT BANGET MULUT LO!" Tian yang berada di samping Bima dengan cepat menutup mulut lelaki itu. "JANGAN BACOT, AIR LIUR LO MASUK KE KUAH BAKSO GUE!!!"
Bina nemberontak, lalu menyikut dada Tian dengan sikunya. "TANGAN LO ASEM ANJIR, ABIS NGAPAIN SIH LO!!"
"Make kaos kaki, hahahaha."
"Anjing, pantes baru terasi!!!"
Rayhan terus memperhatikan sahabatnya dengan serius. Ia masih penasaran akan kebenaran soal Tristan dan Alana yang bertengkar.
![](https://img.wattpad.com/cover/283486512-288-k348413.jpg)
KAMU SEDANG MEMBACA
Tan - Lana
Fiksi RemajaIni bukan cerita tentang seorang gadis dengan segala keceriaan dan kebahagiaan, ini cerita tentang gadis yang begitu rapuh namun berusaha untuk terlihat tegar didepan semua orang. Alana Anatasya, namanya. Gadis berparas cantik dengan rambut yang...