BAB 9

7.8K 559 349
                                    

Suara kicauan burung serta dedaunan yang berjatuhan dari ranting pohon, menambah suasana pagi hari ini. Cuaca cerah serta angin bertiup mengikuti alunan irama alam.

Gadis remaja bernama Thania kini berdiri tegak, menatap gerbang yang menjulang tinggi, kemudian tangannya merogoh sesuatu di saku hoodie-nya. Kedua tangannya bergerak lincah, mengetikkan sesuatu pada benda pipih itu, lalu memasukkan kembali setelah urusannya selesai.

Tidak berselang lama, pemuda dengan perawakan tinggi berjalan ke arahnya, lalu membuka gerbang, mempersilakan Thania masuk.

Thania menatap malas pemuda itu. "Gue nggak mau basa-basi. Mana motor gue?" tanya Thania sambil bersedekap, memandang Galang datar.

Galang mengangkat alisnya sebelah, kemudian mengangguk. "Tuh." Galang menunjuk benda yang dimaksud Thania.

Thania mengikuti arah yang ditunjuk Galang. "Ambilin," kata Thania memerintah layaknya bos. "Cepet, elah!"

"Ck. Malah diem! Cepet ambilin."

"Lo!" Mata Galang menggelap, wajahnya memerah menahan gejolak amarah. Dia merasa diremehkan oleh gadis di depannya ini.

Thania terkekeh, "Kenapa lo? Mau boker. Aduhh, jangan di sini, gue nggak kuat bau tai lo," ujar Thania. "Mending lo cepet ke kamar mandi sana! Takutnya tai lo udah nyangkut di celana dalam lo," sambung Thania sambil tersenyum manis membuat Galang berdecih sinis.

Gadis ini! Benar-benar membuat harga dirinya diinjak-injak.

"Lo tahu? Lo udah kurang ajar!"

Rahang Galang mengeras, giginya bergemeletuk. Tangannya memegang bahu Thania erat, lalu berucap penuh penekanan. "Jangan harap lo bisa lepas dari gue!"

Thania menyentak tangan Galang dengan kasar. "Baperan amat, gue becanda. Udah, ah, minggir!" Thania mendorong tubuh Galang.

Galang menatap tajam punggung gadis itu. Tangannya mengepal kuat sampai urat-uratnya menonjol.

"Awas! Mata lo keluar, tuh," ucap Thania sambil tertawa, membuat Galang menutup matanya, berusaha menahan amarah.

Thania menghentikan laju motornya di samping Galang, kemudian turun dari motor. Dia menatap Galang sambil tersenyum, lalu memeluk tubuh tinggi pemuda itu. Sesaat Galang terpaku, amarahnya melunak karena pelukan tiba-tiba dari gadis yang beberapa menit lalu membuat darahnya mendidih.

"Sorry ya ... Gue udah keterlaluan," kata Thania. "Gue butuh hiburan soalnya, hehe," lanjut Thania sambil melepaskan pelukannya.

Setelah itu, Thania kembali menaiki motornya dan melaju dengan kencang, meninggalkan pekarangan rumah pemuda itu yang saat ini tengah tersenyum tipis.

Kembali pada Thania yang kini bersenandung, ditemani angin yang berhembus. Dia menikmati cuaca cerah hari ini. "Hari yang indah—"

"Goblok!" umpat Thania tiba-tiba karena pengendara motor di depannya mengeram mendadak.

"Ada apa, sih?!" seru Thania keras, dia turun dari motornya, lalu menghampiri pengendara motor tersebut.

"Maaf Neng, itu di depan ada yang berkelahi."

"Eh." Thania membasahi bibirnya. Dia meringis, merasa bersalah karena tidak sopan dengan bapak-bapak yang sudah tidak muda lagi. Thania menatap bapak itu dengan mata dibuat sesendu mungkin.

"Ya sudah, Bapak putar balik lagi aja ya Pak." Thania berkata dengan sopan dan penuh kelembutan.

"Tapi arah rumah saya lewat sini, Neng."

Thania mengejap. Dia menggaruk kepalanya yang tidak gatal. "Oh gitu, ya, Pak. Ya, sudah, Bapak tunggu di sini, biar saya nonton dulu," balas Thania dan melenggang pergi, meninggalkan bapak-bapak itu yang melongo.

"Neng, saya tunggu di sini, kalau udah selesai kasih tahu saya," kata bapak-bapak itu.

Thania membalas dengan acungan jempol.

Thania berdecih sinis, menatap sampah masyarakat yang sedang tawuran. Gadis itu mengerutkan dahinya saat melihat segerombolan anak-anak remaja yang memakai topeng.

Thania berdecih sinis, menatap sampah masyarakat yang sedang tawuran itu. Gadis itu mengerutkan dahinya saat melihat segerombolan anak-anak remaja yang memakai topeng.

"Pengecut!" teriak salah satu laki-laki berjaket kulit cokelat tanpa topeng.

"Lo yang pengecut! Cemen bawa senjata," balas remeh laki-laki yang wajahnya tertutup topeng.

"Argh!"

"Mati lo, anjing!" Laki-laki yang tertutupi topeng itu memukul laki-laki berjaket kulit cokelat dengan brutal.

"Dalam mimpi lo!" desis laki-laki berjaket kulit cokelat, lalu memukul kepala laki-laki yang memakai topeng itu dengan tongkat baseball-nya.

Laki-laki tertutup topeng itu tumbang dengan darah yang mengalir di kepalanya dan perkelahian pun selesai.

Thania menguap, merasa bosan apa yang ditontonnya ini. "Berasa nonton anak monyet lagi berantem." Gadis itu memutar bola matanya, kemudian berucap kembali, "Payah! Dipukul gitu aja tumbang. Huh, cemen!"

"Pergi lo semua! Bawa bos lemah kalian!" teriak seorang laki-laki berjaket kulit cokelat itu dengan sombong.

Thania bersedekap. "Gitu doang? Nggak ada adegan tusuk-menusuk, gitu?" ucap Thania.

"Payah! Dasar sampah masyarakat," lanjutnya dan melenggang pergi, meninggalkan segerombolan laki-laki itu tanpa menyadari jika di antara mereka tengah tersenyum tipis, melihat raut keberanian gadis cantik itu.

"Gimana, Neng?" tanya bapak-bapak itu saat melihat Thania telah kembali.

"Aman, Pak." Thania membalas sambil mengacungkan jempolnya.

"Saya bisa lewat, nih, Neng?"

"Bisa, Pak. Aman," balas Thania sambil tersenyum.

"Ya, sudah. Terima kasih, Neng."

Thania mengangguk sebagai balasan. Selepas kepergian bapak-bapak itu, Thania kembali menaiki motornya dan menyalakannya. Setelah itu, melaju dengan kencang.

Rambut panjang yang digerai indah itu melambai-lambai ke belakang, mengikuti irama angin. Thania mengendarai motor tanpa menggunakan helm full face-nya karena tertinggal di rumahnya saat akan ke rumah Galang.

"Bete banget, anjir!"

"Hari Minggu, seharusnya jadwal gue bocan[1] di kasur empuk gue," gerutu Thania kesal karena jadwal tidurnya terganggu.

"Gara-gara si Angga nelpon gue pagi-pagi. Nyuruh-nyuruh ngambil motor di si Galang. Kan gue kesel jadinya."

Thania terus mengoceh tanpa sadar sudah sampai di pekarangan rumahnya. Turun dari motornya, kemudian masuk rumah yang begitu megah.

Gadis itu menjatuhkan tubuhnya di sofa yang berada di ruang tamu. "Bi!" panggil Thania.

"Iya, Non. Ada apa?" Bi Sri bertanya sambil berlari kecil ke arah Nona mudanya.

"Lemes, Bi, nggak dikasih asupan ayang." Thania berkata dengan dramatis seraya mencebikkan bibirnya.

Bi Sri menggeleng-geleng. "Kirain ada apa, Non," balasnya. "Mau Bibi bikinin teh manis?" tanya Bi Sri dan dibalas anggukan oleh Thania.

"Abang ke mana, Bi?" tanya Thania.

"Abang Non pergi sama teman-temannya, tapi nggak tahu ke mana-mananya."

Thania mengangguk paham. "Oh, iya, Bi. Makasih."

Bi Sri mengangguk dan pamit ke dapur untuk membuat teh manis untuk nonanya.

****

My Perfection Is Bad GirlTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang