BAB 48

1.9K 111 101
                                    

Setelah dari pemakaman Omanya, Thania dan Satria menghampiri Dirgael yang sedang melamun. Thania jadi was-was sendiri melihat Opanya. Takut seperti anak muda zaman sekarang, ditinggal oleh kekasih langsung bunuh diri.

"Opa?" Satria memanggil. Dia duduk di depan Opanya diikuti Thania yang duduk di sampingnya.

Dirgael tersenyum melihat kedua cucu tersayangnya, ada rasa hangat di hatinya melihat tatapan kekhawatiran kedua cucunya. "Opa nggak apa-apa."

Thania tersenyum melihat Opanya yang pandai sekali menyembunyikan kesedihannya. "Opa ayo ikut kita ...."

Dirgael termenung sesaat, dia tidak mungkin meninggalkan kota ini yang dipenuhi kenangan indah bersama istrinya. Ditatap cucunya itu lama, kemudian berujar pelan, "Opa akan tetap tinggal di sini."

"Tapi Opa—"

"Opa baik-baik aja, Tata ...." Tata adalah nama panggilan kesayangan Dirgael dan Kayla. Sempat Thania protes karena merasa cupu dengan nama panggilan itu, menggelikan.

Thania mendengkus pelan, "Opa aku nggak mau ya nanti Opa meninggal dalam keadaan gelantungan."

Dirgael terkekeh ringan. "Opa bukan anak zaman muda sekarang, ya," balasnya santai. "Awas kalau kamu seperti itu!" lanjutnya dengan nada sedikit mengancam.

Thania menggeleng-geleng. "Thania nggak bodoh, ya," balas Thania.

Dirgael tertawa kecil.

Satria sedari tadi menyimak dengan bersedekap dada hanya tersenyum tipis. Dia melirik jam tangannya. "Opa, kita harus kembali." Bukan tidak sopan atau apa, Satria tidak ingin pekerjaannya menumpuk dan adiknya juga harus susulan ulangan sekarang juga. Satria tidak mau Thania ketinggalan meskipun itu hanya satu pelajaran.

Dirgael menghela napas panjang, dia menatap kedua cucunya. Dirgael harus mengatakannya sekarang karena tidak ingin menyesal di kemudian hari, dan tidak menutup kemungkinan dirinya juga akan menyusul istrinya. Jadi, mari katakan sebelum terlambat. "Satria, Tata. Sebelum pergi, Opa ingin mengatakan sesuatu kepada kalian ...." Satria dan Thania mengikuti Dirgael menuju ruang kerjanya.

Ketiganya duduk diam menunggu sang tuan Alvares berbicara. Kening Satria mengerut, menatap map biru yang berada di tangan Opanya. Satria menatap lama map itu. "Ini apa, Opa?"

"Kepemilikan saham. Opa serahkan semuanya kepada kamu dan Thania. Opa tidak mau nanti ada orang gila yang datang merebut semuanya setelah Opa meninggal. Harta Opa harus berada di tangan kalian bukan di tangan orang gila." Dirgael berkata panjang, kemudian melanjutkan kembali. "Setelah kematian Oma kalian, tidak menutup kemungkinan pasti orang gila itu akan datang dan ingin merebut semuanya. Sekarang, mungkin dia sedang tertawa bahagia karena musuhnya sudah meninggal."

Musuh yang di maksud adalah Kayla. Seorang detektif handal yang tidak bisa memecahkan masalah orang gila itu. Yah, meskipun Kayla dianggap detektif handal, tapi tidak ada yang tahu bahwa dia gagal dalam masalah satu ini. Dirgael tahu, istrinya selalu berusaha untuk mengetahui rencana orang gila itu sampai sekarang. Kayla frustrasi dan akhirnya merokok untuk meredakan emosinya, sehingga mala petaka datang dan akhirnya meninggal, itulah penyebab kematian Kayla.

Dirgael kala itu masih di perjalanan menuju pulang, tentu saja terkejut mendapat kabar bahwa istrinya melakukan misi itu lagi dan pada akhirnya gagal lagi. Dirgael cemas, gelisah, takut terjadi sesuatu kepada istrinya dan benar saja itu terjadi. Kayla tergeletak tidak berdaya di kamarnya dengan putung rokok yang berserakan.

Dirgael rasanya ingin marah. Tapi, dia tahan. Keselamatan istrinya nomor satu.

Perkataan Dirgael sulit dimengerti membuat Thania bertanya, "Orang gila? Siapa?"

Satria menatap Opanya lama. Tidak mungkin sekarang, kan?

Dirgael menatap cucu laki-lakinya itu, dia mengangguk pelan. "Papa  kamu, Thania. Dia masih hidup."

Thania terkesiap, pupil matanya melebar, kaki Thania lemas, badannya kaku. Thania tidak tahu harus berekspresi seperti apa. Sungguh ini mengejutkan. "A-apa? Bukannya papa udah meninggal, ya?" Thania tidak mungkin salah. Pendengarannya masih berfungsi ketika bi Sri menceritakan bahwa papanya meninggal ketika Thania baru dilahirkan. Namun ada satu hal, apa yang dikatakan Opanya mirip seperti Kakaknya yang mengatakan bahwa papanya tidak meninggal, tetapi melarikan diri. Jadi, bi Sri yang telah berbohong kepadanya.

"Opa yang menyuruh bi Sri untuk berbohong. "

Sejujurnya, Dirgael merasa bersalah kepada Thania. Tapi, semua ini demi kebaikan cucunya. Dirgael tidak mau mental Thania yang masih kecil terganggu ketika mengetahui kebenarannya. Mungkin sekarang, saatnya Thania mengetahuinya.

Berbeda dengan Satria yang mengatakan kebenaran, dia tidak mau ada kebohongan dalam keluarganya. Tetapi Satria tidak menceritakan secara detail permasalahan papanya. Pemuda itu mengatakan ‘papanya masih hidup,’ itu saja.

Thania menatap Opanya. "Jadi, Opa yang bohongin Thania?"

Dirgael menghela napas panjang. "Ini semua demi kebaikan kamu."

Thania tersenyum masam. "Dengan membohongi Thania?"

Dirgael membuka mulutnya dan kembali terkatup saat tangan Thania terangkat menyuruhnya diam, Dirgael merasa tidak berdaya di hadapan cucunya.

Thania mengembuskan napas pelan, ditatap Opanya dengan datar. "Bisa Opa jelaskan!"

****

see you!

My Perfection Is Bad GirlTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang