BAB 29

4.3K 345 262
                                    

Satria mondar-mandir tidak jelas membuat Aksa menatap temannya itu kesal. "Bang? bisa duduk?"

Aksa menghela napas panjang. "Istighfar, Bang."

Satria duduk tidak tenang. Hatinya gelisah. Dari semalam sampai pagi Thania tidak pulang ke rumah.

Satria memijit pelipisnya. Dari semalaman dia menelepon Thania, namun tidak satu pun dari panggilannya terjawab. Handphone adiknya tidak aktif membuat Satria diselimuti perasaan khawatir.

"Biasanya juga lo santai Bang, kalau  Thania nggak balik," ujar Aksa.

"Thania pergi dari rumah dari jam berapa?" tanya Aksa.

Satria termenung sejenak, mengingat-ingat dari jam berapa adiknya itu keluar. "Kalau nggak salah sekitar jam tujuh malam lewat sepuluh."

"Sebelum dia pergi, lo sempet tanya nggak?" Aksa terus bertanya agar mendapatkan informasi.

Satria menggeleng. "Soalnya adek gue kalau keluar dari rumah nggak bakalan lama-lama. Paling sekitar tiga jam atau dua jam dia pulang ...."

Pemuda yang masih mengenakan setelan jas kantor itu terlihat menahan tangis. Satria itu lemah jika menyangkut Thania. Thania itu ibarat permata yang harus dia jaga satu-satunya hingga akhir hayat.

Aksa mengembuskan napas panjang. Dia masih menggunakan sarung dan peci putih karena tidak  sempat berganti.

Kegiatan Aksa tertunda karena sang teman membutuhkan pertolongan. Alhasil Aksa pagi-pagi sekali datang ke rumah Satria.

Aksa melihat ke arah jam. Sudah Dzuhur. "Mending sekarang kita shalat dulu, berdoa sama Allah semoga Thania baik-baik aja."

****

Pemuda berpakaian kaos hitam polos, dilapisi jaket hitam, berpadukan celana jeans hitam dengan rambut yang tertutupi topi hitam itu menatap datar seorang gadis yang masih terbaring. 

Kedua matanya sedikit tertutup oleh topi hitam. Tatapan yang tadinya datar, seketika menjadi lembut. Dia duduk di pinggir kasur. Menatap gadis itu dengan intens.

Brak!

"Galang! Lo—eh," ucapan Dion seketika terhenti saat tatapan laser mengarah padanya. "Sorry ... Gue kira lo sendiri ...."

"Ada apa?"

Dion menggaruk kepalanya yang terasa gatal. "Biasa, para cecunguk nyariin lo."

Galang mengangguk, dia segera beranjak dari duduknya. Saat melewati Dion, Galang menyeret sepupunya itu. "Nggak sopan!"

Galang menutup pintu kamarnya yang terdapat seorang gadis cantik. Tidak lupa menguncinya agar makhluk seperti Dion tidak masuk sembarangan.

Setelah sampai di lantai dasar, Galang segera duduk berhadapan dengan para sahabatnya. "Ada apa?"

Farel yang sedang bermain game Pou melirik Galang sekilas dan mulai bertanya, "Gimana keadaan Ayang gue, Gal? "

Plak!

"Aw ih!" Farel mengusap tangannya yang digeplak oleh Rayhan. Dia menatap Pemuda itu nyalang kemudian berkata dengan kesal, "Apaan sih, Han?! Sakit tahu!"

Rayhan bergidik ngeri. "Alay banget lo, Rel. Kayak cewek."

Farel cemberut. "Jangan ganggu Han. Gue lagi main Pou."

Angga menggeleng-geleng melihat kelakuan mereka. Dia mengalihkan pandangannya ke arah Galang yang sedari tadi diam.

"Lang?" Angga memanggil.

My Perfection Is Bad GirlTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang