BAB 34

3.2K 259 130
                                    

"Yah, hujan ...," keluhan terdengar dari bibir Luna. Dia segera menutupi kaca balkon kamar Thania saat kilatan petir dan angin berhembus dengan kencang.

"Ihh, nanti Acha kena omel sama mami kalau belum pulang ...."

Faura memutar bola mata. "Yaelah Cha. Kan tadi kita udah minta izin sama mami lo."

Faura mengangkat ponselnya di hadapan Acha. "Mana?"

Acha mengerutkan kening heran. Dia memiringkan kepalanya. "Apanya yang mana?"

Faura berdecak, "Nomer mami lo?!" sewotnya. "Nggak usah banyak tanya! Sini-in hape lo?!" sambungnya membuat Acha yang ingin bertanya menutup bibirnya kembali.

Ghea menggeleng-geleng mendengar suara ketus Faura. "Selow dikit napa, Fa?"

Faura tak menjawab, dia sibuk menyalin nomor mami-nya Acha. Setelah memasukkan nomor mami-nya Acha, segera Faura meneleponnya. "Assalamu'alaikum, Tan. Ini Faura temennya Acha."

Acha menunggu Faura sambil bertopang dagu dengan kaki disilangkan sebagai tumpuan tangannya.

"Baik, Tante. Makasih ya, Tan. Assalamu'alaikum."

Faura melirik Acha. "Kata mami lo nggak papa, nginep juga boleh," katanya.

Acha tersenyum lebar. "Makasih ya, Kak Fau."

Faura mengangguk.

Luna dan Ghea yang sedari tadi memperhatikan kedua gadis itu hanya tersenyum tipis. Sedangkan Thania, gadis itu sedang mandi.

Dua puluh menit berlalu.

Klik

"Segarnya ...." Thania keluar kamar mandi dengan rambut yang digulung handuk. Saat Thania mendekati keempat temannya di kasur, ternyata mereka malah tidur.

"Baru tinggal bentar aja, dah pada ngerek."

Thania duduk di kursi meja rias, lantas dia ambil ponsel yang tergeletak di sana, segera saja gadis itu menghubungi nomo sang kakak.

"Tsk, Bang Satria ke mana sih? Kok belum pulang," Thania terus menggerutu.

Thania kembali meneleponnya, namun tetap sama, panggilannya tidak terjawab. "Angkat, Bang. Ya ampun bikin khawatir aja nih si Bang Sat."

Thania beringsut bangkit. Dengan tergesa-gesa dia keluar kamar. "BI! BIBI?!" panggilnya menggelegar mengalahkan derasnya hujan.

Bi Sri tergesa-gesa menghampiri nona-nya itu. "Ya, Non! Aya Naon?!" Bi Sri menjawab tak kalah keras. "Ada yang bisa Bibi bantu, Non?"

Thania yang sudah berhadapan dengan Bi Sri segera bertanya, "Bi, Bang Satria belum pulang?"

Bi Sri mengerutkan keningnya. "Lho, Non. Bukannya tadi teh den Satria telpon. Katanya mau futsal dulu. Jadi mungkin pulang na teh sorean," jelasnya.

Thania menepuk jidatnya pelan. "Bibi nggak kasih tahu Thania. "

Bi Sri mengeleng-geleng. "Bibi lupa, Non. Untung Non tanya Bibi."

Thania tidak menjawab. Dia dengan sopan berpamitan kepada asisten nya itu. Langkah Thania menuju kamar Satria. Dia menatap pintu kamar kakaknya beberapa saat sebelum sebuah senyuman muncul di bibirnya. Thania tidak pernah melihat-lihat isi kamar Satria atau berkeliling meski pernah masuk bahkan sering tidur di sana.

Pada dasarnya, Thania tidak pernah peduli sama sekali dengan segala hal. Baik hal sepele ataupun hal serius. Tetapi, sekarang berbeda, dia akan merubah sikapnya yang seperti itu.

Dengan langkah pelan, Thania berjalan menuju pintu dan saat knopnya di putar, pintu pun langsung terbuka.

"Lah? Tumben nggak dikunci," gumam Thania.

Setelah itu Thania langsung masuk dengan santai, matanya mengedar ke seluruh ruangan dan berhenti di tempat belajar kakaknya. Dengan langkah pelan, Thania mendekati meja tersebut.

"Buset dah, ini buku pada tebal gini ...."

Setelah Thania melihat isi buku tebal tersebut, yang tentunya membuat Thania pusing tujuh keliling, gadis itu menepuk kepalanya pelan. "Gelo eta rumus!"

Saat hendak berjalan menuju ranjang besar milik Satria, Thania mendengar suara pintu di buka. Matanya bergulir, melihat siapa gerangan yang membuka pintu kamar tersebut.

"Thania? Lagi ngapain di sini?"

 
****

My Perfection Is Bad GirlTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang