BAB 18

5.9K 400 140
                                    

Pukul 23.00

Thania terlihat sedang menghisap sebatang rokok dengan tenang dipinggir kolam renang yang berada di taman belakang rumahnya. Dia menikmati angin malam yang berhembus mengenai tubuhnya yang hanya mengenakan piama tipis.

Tatapan lurus ke depan. Memikirkan tentang hidupnya di masa depan? Apakah dia masih hidup atau sudah mati? Gadis itu menjitak kepalanya sendiri. "Ck, ngapain mikirin yang begituan sih!" Menghela napas berat, kemudian berujar kembali. "Semoga gue panjang umur, Aamiin ..."

Thania mematikan rokoknya yang hampir habis dengan menekan rokok itu di lantai, kemudian dia lemparkan dengan asal.

Satria datang membawa beberapa camilan dan kopi yang belum diseduh. Kakak beradik itu berencana akan bergadang malam ini. Selagi besok hari Minggu. Jadi, keduanya mau menikmati malam bersama ditemani camilan dan secangkir kopi.

"Abang nggak ada rokok."

Thania menoleh dan mendengkus kasar. "Gadang tanpa rokok itu nggak ada artinya." Dia mengambil satu bungkus kripik kentang. Kemudian membukanya, lalu memakannya satu persatu. "Ada kopi, harus ada rokok juga, Bang."

Satria mendesah pelan. "Iya-iya ntar, Abang beli dulu."

Thania berdecak pelan. "Nggak usah! Aku punya." Gadis itu bangkit dari duduknya. Selang beberapa menit Thania kembali sambil membawa lima bungkus rokok.

Satria menelan ludahnya. "Banyak amat, Tha."

Thania memutar bola mata malas. "Segini mah dikit." Dia mengambil satu bungkus rokok, kemudian membuka dan mengambil satu batang rokok. Saat akan menyalakannya, dia teringat sesuatu. "Aku lupa beli korek, yang ini soalnya habis." Thania membuang korek api itu sembarangan arah.

Satria berdecak. "Kamu main buang aja. Siapa tahu itu masih ada."

Thania menggeleng. "Nggak adaan." Dia bangkit dari duduknya membuat kakak dari Thania itu mendengkus. Pasti adiknya mau keluar membeli pemantik api.

"Jangan keluar, Tha. Udah malam!"

Alis Thania terangkat sebelah. "Jam segini mah masih siang Bang."

"Mata kamu bermasalah, Thania? Ayo ke dokter."

"Ish!"

"Abang anter!"

"Nggak usah, Bang." Thania menolak.

"Yakin? Udah malam lho, Tha. Bahaya anak gadis malam-malam keluar. Nanti diculik nenek gombel, baru tahu rasa." Satria menakuti-takuti adiknya itu. Namun sayang, sepertinya Thania tidak akan takut dengan hal-hal seperti itu.

"Udah petot gitu ngapain takut. Kulitnya juga udah ngawir, tinggal ditarik kulitnya udah sobek tuh."

"Mulut Kamu, Tha ya ampun." Satria pusing sendiri jadinya. Bisa-bisanya Thania dengan lempeng berkata seperti itu.

Thania berdecak kesal, menatap kakaknya kesal. "Udah ah, Bang!" Dia beranjak pergi meninggalkan Satria yang menggeleng-geleng dengan sikap adiknya. Kakinya dientak-entakkan, bibir cemberut membuat Thania terlihat sedikit imut. Ingat, hanya sedikit!

Satria menyusul adiknya. "Woy tunggu!"

"Ck, berisik, Bang!" Thania menatap kakaknya. "Untung bibi sama Fadel nggak ada di rumah."

Satria menggaruk pipinya yang terasa gatal. "Sorry."

Thania berdeham, dia menatap kakaknya ragu. "Ayo, Bang! Anter aku," katanya sambil mengusap tengkuknya.

"Apa?"

Thania berdecak, "Anter aku beli korek ke depan."

"Dih! Katanya tadi nggak usah. Kok sek—"

"Ck, banyak omong!" Thania menyela, dia sungguh kesal. Apa susahnya sih, tinggal mengiyakan. Tapi, kakaknya ini sengaja memperpanjang. "Kalau nggak mau, ya udah! Aku bisa sendiri."

Mengangkat bahu tidak peduli, Satria berkata santai. "Ya udah." Setelah mengucapkan itu Satria meninggalkan Thania yang cemberut.

"Ih Abang, aku kesel sama Abang ya!" Thania menghampiri kakaknya yang terdiam.

"Ayo, Bang anterin aku." Thania memeluk kakaknya dari samping, bibirnya melengkung ke bawah karena kakaknya hanya terdiam. "Bang ih!"

Bibir Thania semakin melengkung ke bawah, siap mengeluarkan tangisannya. Matanya berkaca-kaca, air bening sudah menampung di pelupuk matanya yang siap mengalir.

Satria mati-matian menahan matanya untuk tidak melirik adiknya yang sekarang menjelma menjadi sosok bayi yang menggemaskan. Satria tidak kuasa melihat adiknya seperti ini.

Jika orang lain mengetahui sisi Thania seperti ini, mungkin mereka tidak akan percaya.

Cup

Cup

Cup

Thania mengecup pipi Satria bertubi-tubi membuat cowok itu mematung.

 Satria berdeham, gugup melihat adiknya mengeluarkan sikap manis membuat dia tidak kuasa untuk tersenyum.

Thania yang manis dan manja, baik hati dan tidak sombong. Bukan Thania yang galak dan ketus, tidak sopan dan sombong. Hanya segelintir orang yang mengetahui Thania seperti ini.

"Abang!" Thania merengek, dia masih mendekap kakaknya yang tidak kunjung membalas. "Huwaa!" Runtuh sudah tangisan Thania membuat Satria terperanjat.

Satria menghadap ke arah adiknya yang masih menangis sambil memeluk dirinya. Tangan Satria terangkat membalas pelukan Thania dengan hangat, sesekali mengucapkan kata menenangkan. "Udah, jangan nangis."

Thania menenggelamkan kepalanya di bahu lebar Satria. "Jangan kayak gitu lagi."

Satria menggigit bagian dalam mulutnya, merasa gemas dengan sikap Thania seperti ini.

"Iya, Abang nggak bakalan gitu lagi."

Thania mendongak tanpa melepaskan tangan yang melilit di pinggang Satria. "B–beneran?"

Satria menunduk dan mengecup kedua mata adiknya yang berlinang air mata. "Iya sayang."

Segera Thania melepaskan pelukannya membuat Satria mau tidak mau melepaskannya juga. Tangan Satria terangkat menghapus air mata adiknya.

"Jadi keluar?" tanya Satria

"Nggak deh, Bang."

"Ya udah, ayo lanjut begadang," ajak Satria.

Malam itu, Satria dan Thania begadang hingga jam empat subuh.

 ****

My Perfection Is Bad GirlTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang