BAB 58

2.3K 101 103
                                    

Bulan bersinar terang, menemani Satria dalam perjalanan yang sedikit licin dan banyak genangan air.

Satria melirik jam arloji yang melingkar di tangannya. Pukul delapan malam. Tidak terasa pertemuan dengan dokter Janssen menghabiskan empat jam lamanya.

Satria melajukan mobilnya dengan pelan menikmati malam ini. Kemudian manik Satria menyipit ketika melihat sosok perempuan yang berlari, di belakang perempuan itu ada dua orang laki-laki mengejarnya.

Satria diam-diam mengikuti ketiga orang itu. Sesekali berhenti, menyaksikan kedua pria itu dengan kurang ajar menarik rambut milik perempuan itu. Bibir Satria terbungkam, raut wajahnya datar, sama sekali tidak kasihan melihat kekerasan itu setelah melihat rupa ketiga orang tersebut.

Kedua laki-laki itu menampar, memukul, bahkan berniat melecehkan perempuan itu. Satria hanya terdiam menyaksikan. Ketika salah satu pria ingin menginjak perut sang wanita segera Satria menancap gas dengan kencang, di barengi dengan suara klakson berbunyi nyaring menyadarkan ketiga orang itu.

Satria menggerakkan kemudinya dengan gerakan memutar. Lalu berhenti dan menyuruh perempuan itu untuk masuk. "Masuk!"

Setelah perempuan itu masuk, Satria kembali melajukan mobilnya dengan kecepatan penuh, meninggalkan kedua pria yang mengumpatnya di belakang sana.

Saria melirik sejenak perempuan di sampingnya, lantas berbicara, "Lo ketahuan?"

Vitri, keadaan wanita itu sangat kacau. Sudut bibir robek berdarah, piama terkoyak, rambut berantakan serta pipi yang memerah bekas tamparan. Terlihat sekali dia disiksa habis-habisan.

Vitri kemudian menunduk, merasa bersalah karena tidak becus."Maaf ...."

Selang beberapa detik, gadis itu berucap kembali, "Gue mau telepon lo, tapi mereka tiba-tiba ada di belakang gue terus ngambil ponsel gue dan ngebaca semua isi chat kita, sekali lagi maaf ...."

Satria terdiam. Dia memarkirkan mobilnya di garasi rumahnya. "Ayo turun, jelasin di dalam."

Vitri membulatkan matanya, dia menatap horor ke arah pemuda itu. "Lo bawa gue ke rumah lo? Gimana kalau Thania tahu? Kan kata lo Thania nggak boleh tahu," cerocos Vitri.

Satria menatap datar ke arah wanita itu. "Thania berhak tahu."

Vitri terdiam sebelum akhirnya mengikuti pemuda itu untuk masuk ke rumah yang begitu megah.

Mereka tidak sadar seseorang memperhatikannya di balkon dengan tampang datar dan sorot mata tajam. "Dedemit kok dibawa, merusak polusi aja!" dengkus Thania dan masuk ke kamarnya. Dia melemparkan diri ke atas kasur, dan tiba-tiba pikirannya melayang pada perkataan Vitri. Thania langsung bangkit, berdiri dengan gagah.

"Mumpung dedemit ada di sini, kenapa nggak langsung tanya aja." Thania langsung ke luar kamar. Karena lama harus menginjak tangga satu persatu, gadis itu dengan nekat merosot ke bawah lewat pinggiran tangga yang panjang dan licin. Sontak teriakan heboh langsung memenuhi indra pendengarannya.

"Astaghfirullah rabbal baroya! Non awas jatuh!"

"Thania!"

Thania menutup telinganya. "Duh santai, jangan teriak-teriak!" Gadis itu dengan santai duduk di sofa dan menelisik pakaian wanita itu. "Vit? Lo gembel ya?"

Vitri hanya tersenyum masam dan tertunduk dalam. Dia malu.

Satria hanya menggeleng dengan perkataan nyeleneh adiknya itu.

"Ini Neng, ada pakaian Bibi yang cukup besar." Bi Sri memberikan pakaiannya kepada Vitri dan gadis itu menerimanya. Tidak lupa mengucapkan terima kasih.

"Kalau mau ganti, di kamar Bibi aja." Sebagai orang tua, tentu saja merasa kasihan melihat keadaan perempuan itu yang tidak baik-baik saja, apalagi dalam kondisi mengandung.

Vitri diantar oleh bi Sri, meninggalkan Thania yang mengerut tidak suka dengan keberadaan Vitri. Manik Thania bergulir menatap kakaknya meminta penjelasan.

Seolah tahu dengan tatapan adiknya, Satria berkata, "Sebentar lagi kamu akan tahu semuanya, Thania."

****

My Perfection Is Bad GirlTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang