BAB 45

2K 112 105
                                    

"Ini hasil tesnya." Dokter dengan nama Janssen itu menyerahkan selembar kertas dan diterima oleh Satria.

Satria dengan teliti membaca huruf demi huruf yang tertulis di kertas itu. Mata Satria terus bergulir ke bawah, sehingga matanya mengerjap pelan, memastikan yang dilihatnya benar.

Satria mendongak menatap dokter Janssen. "Dok? Ini ...," Satria tidak kuasa untuk melanjutkan ucapannya. Dia menangkup wajahnya dengan kedua tangan. Satria menangis.

Dokter Janssen menghela napas pelan, dia merasa kasihan dengan kakak dari pasiennya ini.

Dokter Janssen menyandarkan tubuhnya ke sandaran kursi. "Sebenarnya saya mohon maaf tidak memberi tahu anda sebelumnya. Saya dokter yang memberi obat kepada nona Thania."

Satria segera duduk tegak saat mendengar perkataan Dokter Janssen, dahi Satria mengerut heran.

Dokter Janssen yang mengerti dengan kebingungan Satria kembali berkata, "Nona Thania selalu ke sini menemui saya ketika stok obatnya habis."

"Maksud anda?"

Dokter Janssen menghela napas panjang. "Saya merasa bersalah kepada nona Thania karena memberi tahu tentang ini kepada anda. "Dokter Janssen memijit pelipisnya pelan. Merasa rumit dengan keadaan ini. "Tapi tidak ada salahnya saya memberi tahu anda, karena anda keluarganya. Saya tidak mungkin terus merahasiakan ini, apalagi penyakit yang diderita nona Thania cukup serius."

"Apa maksud anda? Tolong jelaskan kepada saya." Sungguh Satria sama sekali tidak mengerti dengan pembahasan ini.

Dokter Janssen memijit pelipisnya. "Apakah saya harus memberi tahu anda?" Dokter Janssen jadi bimbang. "Saya sudah merahasiakan ini selama satu tahun lamanya dan nona Thania sangat percaya kepada saya."

Satria kesal sendiri karena dokter Janssen ini banyak basa-basi. "Saya kakaknya dan saya berhak tahu!" ucapnya penuh penekanan.

Dokter Janssen mengalah dan mengangguk. "Baiklah."

****

Setelah tiga hari dirawat di rumah sakit. Hari ini, Thania sudah diperbolehkan pulang karena keadaannya sudah membaik. Saat ini, Thania sedang duduk di sofa sambil menunggu kakaknya yang sedang membereskan tas yang di dalamnya terdapat beberapa keperluannya selama di rumah sakit.

"Ayo!" Satria berdiri di hadapan Thania dan merangkul adiknya untuk berdiri. "Hati-hati."

Keduanya berjalan beriringan di koridor rumah sakit, banyak pasang mata melirik sungkan ke arah keduanya membuat Thania memutar bola mata sinis dengan tatapan mereka.

Satria menutup mata Thania dengan tangannya. "Mata kamu, Tha. Ya ampun ...," Satria jadi gemas sendiri melihatnya.

"Salah mereka, lihat kita kayak lihat presiden." Thania melepaskan tangan Satria yang masih menutup kedua matanya. "Gelap, Bang."

Satria melepaskan tangannya dan kembali merangkul Thania dengan lembut. Keduanya berjalan diiringi obrolan tidak penting sampai tidak sadar sudah berada di parkiran.

Mang Diman dan Bi Sri yang sedari tadi menunggu majikannya segera menghampiri kakak beradik itu. Dengan cekatan Bi Sri mengambil alih tas sederhana yang sebelumnya di bawa oleh Satria. Tidak mau kalah, mang Diman juga dengan gerakan cepat membuka pintu mobil untuk keduanya.

Satria dan Thania hanya tersenyum tipis melihat keantusiasan Bi Sri dan Mang Diman. Segera kakak beradik itu masuk mobil dibagian penumpang.

Mobil mewah hitam itu meninggalkan pekarangan rumah sakit.

Di dalam mobil Thania terus menguap, menahan kantuk. Satria  melihat itu terkekeh geli, tangan Satria yang sedari tadi bertengger manis di bahu adiknya kini dengan lembut menarik tubuh Thania agar lebih merapat dan menempelkan kepala Thania di dada bidangnya. "Tidur ...." Satria mengelus rambut adiknya lembut.

Thania yang benar-benar mengantuk akhirnya tertidur di dekapan hangat kakaknya.

Suara dengkuran halus terdengar, membuat Satria menatap adiknya hangat, sehingga tatapan itu berubah sendu mengingat ucapan sang dokter.

Satria menghela napas sejenak. Entah harus bagaimana dirinya menyikapi masalah ini? Satria tidak tahu sungguh!

"Den, udah sampai." Suara mang Diman terdengar.

Lamunan Satria akhirnya tersadar. "Ah, iya ...," Satria menjawab seadanya lalu tatapannya beralih ke arah Thania yang masih tertidur. Terlihat lelap sekali, Satria jadi tidak tega untuk membangunkannya.

"Bibi, bawain tas ya. Mang Diman tolong bukain pintu." Setelah mengucapkan itu dengan sigap Satria menggendong adiknya dengan lembut dan membawanya ke dalam rumah.

Satria membaringkan Thania di kasur. "Selamat tidur."

****

My Perfection Is Bad GirlTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang