Mas Kekar berhasil mendapatkan tiket kereta pulang dari Bandung. Itu satu-satunya tiket terakhir yang tersisa dengan asumsi ada penumpang yang mendadak melakukan pembatalan.
Akhirnya, pada tanggal dua Januari, pukul tujuh malam, Mas Kekar sudah berdiri di ambang pintu rumah. Di kedua bahunya terpikul tas ransel serta sebuah tas jinjing berwarna hijau army yang ditentengnya di tangan kanan, sedangkan tangan kirinya membawa sebuah kardus berukuran kecil yang berisi oleh-oleh berupa makanan ringan. Begitu melihatnya berjalan melintasi ruang tengah menuju meja makan tempat aku dan Ayah menyantap makan malam, sontak kami menengokkan kepala dan menghentikan kegiatan suap-menyuap nasi dan lauk kami.
Saat Mas Kekar mencium telapak tangan Ayah, wajah Ayah mendadak sumringah sekali. Jarang-jarang dia tersenyum selega itu. Barangkali dia bosan berdua saja denganku setiap hari di rumah atau karena Mas Kekar jarang sekali memberi kabar. Sebenarnya, aku juga menunggu-nunggu kabar darinya, terutama soal kompetisi itu. Lalu, Mas Kekar duduk bergabung menyantap makan malam bersama kami di meja makan. Setiap kali Mas Kekar pulang, yang sangat jarang dia pulang, ceritanya ditunggu-tunggu dan mendadak dia jadi pusat perhatian.
"Gimana kuliah? Lancar?" Ayah membuka pertanyaan.
"Lancar, dong." Mas Kekar menjawab penuh percaya diri dan santai, seperti biasanya. "Banyak tugas, biasalah. Tapi, selesai semua."
Setelah berbincang-bincang mengenai tugas-tugas kuliahnya, tepat ketika kami hampir selesai makan, piring di hadapan kami sudah mulai bersih dan hanya ada sedikit sisa butiran nasi, Mas Kekar mengaku soal kesibukan lainnya yang selama ini disembunyikan dari Ayah: kompetisi itu. Tentu saja Ayah sangat terkejut, gabungan antara tidak menyangka sekaligus senang bukan main. Ekspresi wajahnya menunjukkan reaksi keduanya dalam porsi yang seimbang. Aku jauh lebih terkejut karena tiba-tiba dia mau jujur.
"Tim Mas sudah lolos di seleksi nasional. Kita juara satu," ujar Mas Kekar, lalu dia membuka resleting tas ranselnya dan mengambil selembar piagam yang dibalut map plastik. Dia juga membuka ponsel, menunjukkan foto-foto saat berlangsungnya kompetisi, robot yang mereka ciptakan ada di meja panjang di hadapannya, serta foto dirinya dengan dua rekannya yang lain saat menerima medali, piagam, dan papan bertuliskan hadiah berupa uang tunai sebesar jutaan rupiah. "Kita dimajukan untuk kompetisi internasional. Akhir bulan April nanti. Di Jerman. "
Akhirnya dia mengaku sampai sana. Kesambet apa dia? Sebaliknya, wajah Ayah yang semula sumringah, perlahan berubah dipenuhi tanda tanya. "Wah, Jerman, ya?"
"Iya. Kalau kita menang, reward lainnya selain uang adalah beasiswa S2 di sana."
Ayah membetulkan letak kacamatanya. "Jadi, buat lombanya, apa saja yang harus disiapkan? Biaya? Ada yang lain?"
Aku menyimak sambil bolak-balik memandangi Mas Kekar dan Ayah, memperhatikan Mas Kekar yang berusaha meyakinkan Ayah bahwa segalanya sudah diurus dan ia pulang ke sini dengan tujuan meminta restu. Mas Kekar juga mengatakan soal biaya, timnya memiliki donatur, sponsor dari beberapa perusahaan besar, hingga bantuan dari pihak kampus dan pemerintah. Penjelasan itu cukup membuat Ayah mengangguk-angguk, ekspresi wajahnya kembali melunak, kembali dirinya tampak lega dan sumringah seperti sebelumnnya.
Meskipun begitu, Ayah tetap menawarkan, "Kalau butuh bantuan apapun lagi, tambahan biaya atau apapun, bilang saja, ya."
Mas Kekar hanya memandang Ayah sebentar dan mengatakan bahwa dana yang dikantongi timnya sudah cukup. Selanjutnya, dia berdiri dari kursi meja makan dan membawa piringnya ke dapur, mencucinya di wastafel. Ketika hanya tinggal aku dan Ayah berdua duduk berhadapan, aku bertanya soal janjinya beberapa bulan lalu tentang mendaftar bimbel untuk intensif persiapan SBMPTN di semester dua. Mendengar itu, Ayah mengiyakan dan langsung menanyakan mau mendaftar ke bimbel yang mana. Kuambil beberapa brosur dari meja belajarku, mengamati paket dan harga yang tertera, program yang disediakan, membandingkan satu tempat bimbel dengan tempat bimbel lainnya, berunding malam itu, dan akhirnya memutuskan juga di malam itu.
KAMU SEDANG MEMBACA
Atlas
Novela JuvenilUntuk Atlas: Sekeras apapun usahamu, perempuan bernama Venus itu akan selalu tampak penuh misteri di matamu. Dunianya tak lain satu planet berisi koleksi kontradiksi dan kumpulan paradoks yang saling terikat, bertumpang tindih, bercampur aduk memben...