Aku menggulung karpet yang semula tergelar di depan televisi, menyapu sedikit bagian lantai yang semula tertutup karpet bundar berwarna merah tersebut, dan membuka jendela di ruang tamu untuk membiarkan sedikit udara masuk, membiarkannya mengalir, dan mengganti hawa apek menjadi segar.
Ayah sedang di dapur membuat sarapan. Telur mata sapi setengah matang dengan sosis goreng, tak lupa saus sambal dalam kemasan yang belakangan ini jadi kesukaannya. Setiap makan, ia tidak pernah lupa menambahkan saus tersebut di piringnya, apapun makanannya. Salah satu kebiasaannya yang baru.
Tinggal berdua dengan Ayah di rumah ini sebenarnya hal yang sangat mudah, apalagi biasanya Ayah lebih sering di luar. Ketika aku berangkat ke sekolah dan Ayah pergi ke kantornya, rumah ditinggalkan dalam keadaan rapi, dan begitu kami pulang—biasanya aku pulang duluan—rumah pun masih dalam keadaan rapi, sama, dan tidak ada satupun benda yang bergeser. Rasa-rasanya seperti rumah mungil minimalis ini sedikit kehilangan jantung kehidupannya, dari pagi hingga sore tidak ada satupun yang menempati, kosong, dan memang tidak ada siapa-siapa lagi selain kami berdua.
Bertiga, jika Mas Kekar sedang liburan atau pulang.
Aku baru teringat dan penasaran dengan kabar Mas Kekar, tepat ketika Ayah bertanya dari dapur. "Nus, Mas Kekar daki gunung lagi, heh? Sudah lama nggak ada kabar."
Aku menimbang-nimbang, berbohong atau tidak—soal saran alibi darinya mengenai kerja paruh waktunya yang menggila. Akhirnya, kujawab, "Mungkin lagi sibuk, Yah. Coba diteleponnya nanti-nanti."
"Semester lima itu memang sibuk sepertinya, ya?" Ayah kemudian keluar dari dapur, membawa dua piring berisi nasi. Masing-masing di atasnya diletakkan satu telur mata sapi, tiga buah sosis goreng, sendok dan garpu. Tentu saja yang membedakan piringnya dengan piringku adalah sambal kemasan yang diletakkan di pinggir sosis-sosis itu.
Kami menyantap sarapan kami dalam keheningan, di antara suara jarum jam yang menggeser detik menjadi menit, angin yang mengetuk-etuk jendela depan rumah kami. Aku tidak merasa punya semacam ikatan ayah-anak yang cukup kuat dengan ayahku. Kami jarang menghabiskan waktu bersama. Lagipula, kami sama-sama diam dan tenang dan tidak ingin mengusik atau diusik satu sama lain, tenggelam dalam kegiatan masing-masing. Sesekali saja kami makan di luar, itu juga kalau Mas Kekar sedang liburan semester. Jadi, itu jarang sekali terjadi.
Sudah lama juga kami tidak liburan. Liburan terakhir kami sekitar tiga tahun yang lalu, liburan sederhana. Kami naik mobil, berjalan-jalan ke kota sebelah yang lebih sejuk dengan pemandangan pegunungan di berbagai penjuru. Makan sate dan sup hangat di rumah makan pinggir jalan dengan pemandangan gunung. Membeli jagung bakar dan seplastik cilok. Melihat-lihat ke dalam kompleks tempat rumah orang-orang kaya di daerah perbukitan dengan pagar mereka yang tinggi-tinggi serta pilar-pilar yang mewah, halaman luas yang tertata rapi dengan hiasan air mancur dan semak-semak berbunga, patung-patung yang menghiasi pekarangan rumah. Indah sekali. Kami mengaguminya diam-diam dari dalam mobil, menyadari betapa berbedanya dengan rumah yang kami miliki, berusaha menebak-nebak apa pekerjaan pemilik rumah dan berapa penghasilannya.
"Bisa jadi ini bukan rumah utama mereka," Mas Kekar berasumsi. "Miliarder mana yang tinggal di perbukitan? Akses yang sulit untuk bisnis atau apapun pekerjaan mereka. Mas yakin kalau rumah-rumah ini hanya untuk vakansi sesaat. Tempat pelarian kalau lagi penat."
Kami berhenti pada satu rumah dengan halaman luas, berwarna putih. Garasinya di bawah tanah, pintu masuknya berada di lantai yang lebih tinggi. Rumah itu tidak memiliki pagar tinggi, taman luas di pintu masuk dihiasi batu-batu alam dan bunga-bunga semacam lavender, di terasnya terdapat dua kursi besi dengan ukiran cantik dan satu meja bundar. Sederhana, tapi mengundangku untuk menjadikannya sebagai referensi rumah impianku.
"Rumah yang cantik," Ayah berkomentar, "Kalau punya tabungan banyak, Ayah juga pengin beli rumah di sini. Untuk hari tua." kemudian, dia membelokkan mobil ke jalan utama dan kami berjalan menjauh dari rumah-rumah penuh mimpi itu.

KAMU SEDANG MEMBACA
Atlas
Teen FictionUntuk Atlas: Sekeras apapun usahamu, perempuan bernama Venus itu akan selalu tampak penuh misteri di matamu. Dunianya tak lain satu planet berisi koleksi kontradiksi dan kumpulan paradoks yang saling terikat, bertumpang tindih, bercampur aduk memben...