Notalgia, Janji, Yogyakarta

66 14 7
                                    

Selama seminggu ke depan, aku mengemas barang-barangku di kamar dan memasukkannya ke dalam kardus. Kardus-kardus persegi itu nantinya akan dikirimkan ke Yogyakarta. Pakaian, buku, peralatan tulis, sepatu, tas, dan berbagai benda lainnya sudah dipisahkan ke masing-masing kardus yang sesuai kategorinya.

Selama satu minggu itu pula aku jadi semakin sering berinteraksi dengan ibuku. Kami saling bertukar pesan. Kebanyakan ibuku yang menanyakan duluan, biasanya soal kamar kos-kosan. Sudah seminggu Ibu menetap di Yogyakarta, selain untuk urusan bisnisnya, Ibu membantu mencarikan kamar kos untukku. Kami sering video call untuk Ibu menunjukkan kamar kos yang dikunjunginya, apakah sekiranya aku merasa cocok dengan suasana dan fasilitasnya atau tidak. Beberapa hari sebelum keberangkatanku, aku sudah menentukan kamar kosku yang cocok, dan Ibu langsung mengurusi segala urusan administrasinya. Jadi, aku bisa langsung menetap di sana begitu sampai di Yogyakarta.

Semuanya masih terasa begitu aneh dan berlangsung terlalu cepat.

Masih ada perasaan campur aduk ketika menyadari bahwa aku berkomunikasi dengan ibuku dan akan bertemu dengannya sebentar lagi. Bahkan, kenyataan bahwa aku sungguh masih memiliki ibu dan diakui sebagai anak kandung oleh seorang wanita-masih terasa begitu aneh, asing, semula membuatku ingin marah—walaupun pelan-pelan aku belajar untuk menerimanya. Ibuku orangnya santai dan sepertinya berjiwa muda, jadi sejauh ini, cukup mudah untuk berinteraksi dengannya meskipun hanya melalui teks dan telepon. Ia terdengar menyenangkan dan bukan orang yang sulit untuk dihadapi. Bertolak belakang dengan Ayah.

Aku juga masih tidak menyangka akan meninggalkan kota ini begitu cepat.

Mulanya kupikir perubahan ini akan berjalan mudah. Aku sudah merencanakan untuk kuliah di luar kota, ingin memiliki pengalaman tinggal sendirian di kota lain, terlalu bosan dengan kota yang kutinggali selama hampir delapan belas tahun lamanya. Aku benar-benar membayangkan bahwa segalanya akan terjadi dengan menyenangkan. Tapi ketika dilakukan, sebentar lagi aku akan pergi meninggalkan rumah, ada perasaan mengganjal yang bercampur aduk. Ayah akan sendirian di rumah nantinya dan aku baru benar-benar menyadari hal itu.

Betapa jahatnya diriku tidak pernah mempertimbangkan hal itu?

Meskipun Ayah tidak pernah melarangku dan menyetujui keputusanku untuk belajar di luar kota, kekhawatiran itu tetap terbesit di otakku. Ya, Mas Kekar akan kembali ke Bandung begitu patah tulangnya sembuh, untuk mengejar ketinggalan dalam berbagai mata kuliah dan mulai mengerjakan tugas akhir. Lalu, Ayah benar-benar akan sendirian di rumah. Mungkin untuk hari-hari biasa Ayah akan sibuk di kantor, tapi untuk akhir pekan, aku tidak bisa membayangkan seberapa sepi rumah nanti.

Menyadari hal itu, ada perasaan kelabu yang sekarang menghantui dadaku. Mendadak saja aku ingin menangis sekaligus berterima kasih banyak sekali lagi pada Ayah. Tidak pernah melarang anak-anaknya mengejar apa yang diinginkan-diam-diam mengusahakan banyak hal-meskipun gantinya, sekarang Ayah harus tinggal sendirian. Tapi, Ayah menyanggupinya dan tidak pernah sekalipun menunjukkan tanda-tanda keberatan. Kalau dipikir-pikir, kami semua akan tinggal sendiri dan berpencar. Aku, Mas Kekar, dan Ayah. Meskipun ini akan jadi sedikit sulit, tapi kurasa, kami bertiga sudah cukup terlatih untuk itu.

Sehari sebelum aku berangkat ke Yogyakarta, aku mengelilingi kota sendirian untuk terakhir kalinya. Mengunjungi berbagai tempat yang telah menyisakan banyak memori. Toko Buku Arjuna sudah pasti. Ketika aku hendak membayar satu buku novel, aku berpamitan dengan penjaga kasirnya, Pak Setno, yang selalu menyambutku dengan ramah setiap kali aku datang atau hanya sekedar mampir. Katanya, aku salah satu pelanggan setia toko ini. Kalau tidak ada aku, mungkin bisa-bisa sebentar lagi toko buku bekas itu bangkrut, candanya. Aku hanya terkekeh pelan, lalu kami berbincang-bincang sesaat. Kukabarkan kalau aku akan kuliah di Yogyakarta dan Pak Setno bilang, dia akan merindukan pelanggan setia seperti aku.

AtlasTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang