Aku tidak tahu harus bersikap bagaimana.
Kupandangi wajahku di depan cermin dan menghela napas. Aku tahu wajahku tampak muram dan sedikit lesu, garis lebar berwarna gelap tercetak di bawah mataku. Aku kurang tidur semalam, seusai menghabiskan salah satu buku Virginia Woolf. Energiku sedikit terkuras. Ditambah setelah ini aku harus berhadapan dengan Gavin untuk belajar Matematika. Seharusnya, aku merasa biasa saja, kan? Ini hanya belajar bersama Gavin di sebuah coffee shop bergaya minimalist rustic yang jaraknya tidak sampai lima ratus meter dari rumahku. Tidak ada yang memberatkan. Jalan kaki lima menit pun sampai.
Jadi, kukenakan baju yang biasa-biasa saja. Seadanya. Sweater lengan panjang berwarna hitam polos, celana jeans berwarna biru gelap, dan tas ransel berisi buku latihan Matematika. Kubiarkan rambutku dikuncir satu. Aku benar-benar sedang tidak ingin berpenampilan yang rapi-rapi. Kalau Damita melihat, pasti aku kena semprot dan dia sibuk berkomentar ini-itu.
Gavin mengirimiku pesan beberapa jam yang lalu, menanyakan apakah aku mau dijemput. Kujawab tidak dan beralasan aku ingin berjalan kaki sore-sore. Memang benar begitu. Aku sedang ingin berjalan sendirian, mendengarkan musik melalui earphone, memandangi rumah-rumah, pepohonan, dan jalanan yang kulewati, memikirkan banyak hal, menikmati suasana sore yang sejuk dengan angin berhembus di bawah langit berawan.
Ketika aku sampai di coffee shop dengan papan nama bertuliskan 'O'Tierre, pada pukul setengah empat-sesuai perjanjian-ternyata, Gavin sudah sampai duluan. Dia mengenakan kemeja kotak-kotak berwarna hijau gelap, duduk di salah satu meja bundar dekat jendela dengan dua kursi, itu adalah meja khusus untuk ditempati dua orang. Buku paket Matematika sudah dibuka, buku catatannya sudah terbuka juga, dan ada beberapa kertas HVS yang sudah dicoret-coret. Aku sedikit terkejut. Biasanya, aku selalu jadi orang yang datang pertama ketika janjian dengan siapapun; Damita, Atlas, bahkan kerja kelompok lainnya.
"Hai," sapaku, menarik kursi dan duduk di hadapannya. Aku tahu, dia sudah melirik ke arahku sebelumnya. Dia sudah melihatku sejak awal aku membuka pintu, tapi kemudian dia pura-pura mengalihkan pandangan dan menulis sesuatu di buku catatannya.
"Hai, Venus," Gavin mendongak dan tampak terkejut. Yah, pura-pura terkejut.
"Sudah lama menunggu?" tanyaku. Aneh rasanya menanyakan hal ini. Biasanya, aku yang ditanyakan dengan pertanyaan ini.
"Nggak, kok. Gua datang kecepetan." jawab Gavin, "Sudah pesan sesuatu?"
"Oh, ya. Pesan dulu, ya," kataku, meletakkan tas ransel di kursi dan berdiri lagi, kemudian berjalan menuju kasir.
Aku menghela napas dalam dan berpikir betapa sisa sore ini akan menjadi waktu yang terasa panjang. Sementara, lusa, yaitu hari Senin, akan dimulai ujian tengah semester dua atau semester genap. Aku tidak tahu apakah besok-besok trik ini akan Gavin gunakan lagi untuk menambah kuantitas berinteraksi denganku. Masih ada ujian akhir semester genap di akhir Maret, Ujian Nasional pada awal April, dan ujian masuk perguruan tinggi negeri atau SBMPTN pada akhir Mei. Semuanya dijadwalkan begitu berdekatan, bisa saja permintaan belajar bersama ini akan terus berlanjut. Bagaimana caraku menghindarinya? Sembari memikirkan hal itu, aku memesan minumanku, membayarnya, dan kembali ke meja sambil membawa secangkir cokelat panas, lalu kami mulai belajar.
Pukul tujuh malam, kami selesai belajar. Aku sedang memasukkan buku dan tempat pensilku ke dalam tas ketika Gavin menawarkan untuk mengantarku pulang. Kutolak tawarannya dan mengucapkan terima kasih, lalu kami berjalan keluar coffee shop. Tapi, Gavin bersikeras, menawarkan kembali sambil menunjuk vespanya yang diparkirkan di samping pos satpam.
"Thank you, tapi jarak dari tempat ini ke rumah gue hanya lima menit."
Dia tetap bersikeras ingin mengantar sampai depan pintu rumahku. Aku tidak mengerti mengapa dia membujuk terus dan begitu penasaran. Kukatakan padanya bahwa aku akan tetap berjalan kaki, seandainya jika dia benar-benar ingin ikut mengantarku sampai rumah. Gilanya, dia menjawab ya. Jadilah kami berjalan kaki berdua menyusuri area cluster rumahku, melewati rumah demi rumah, melangkahi pantulan keemasan dari lampu jalanan yang tercetak pada aspal di bawah kaki kami. Sementara itu, hanya untuk menemaniku berjalan kaki seperti ini, dia meninggalkan motornya di coffee shop tempat kami belajar tadi dan menitipkannya pada satpam di sana. Orang gila.

KAMU SEDANG MEMBACA
Atlas
Teen FictionUntuk Atlas: Sekeras apapun usahamu, perempuan bernama Venus itu akan selalu tampak penuh misteri di matamu. Dunianya tak lain satu planet berisi koleksi kontradiksi dan kumpulan paradoks yang saling terikat, bertumpang tindih, bercampur aduk memben...