Gelisah

100 13 6
                                    

Aku berusaha keras menjadi teman yang baik untuk Gavin.

Kudengarkan semua coletahannya tentang Venus. Tentang bagaimana Venus selalu datang ke sekolah tepat waktu (Tentu saja, aku tidak pernah melihatnya memasuki kelas pagi-pagi karena aku selalu datang saat bel masuk.), bagaimana dia merapikan rambutnya, caranya tersenyum kecil, mendengarkan musik, membaca buku, atau hanya duduk sendirian di mejanya dan terlihat sangat nyaman dengan dirinya sendiri. Gavin benar-benar memperhatikan sampai hal terkecil. Oh, ya, tentu saja sebagian besarnya sudah kusadari dan kuperhatikan sejak kemarin-kemarin. Mendengarnya dari orang lain, yang juga teman baikmu sendiri, hanya membuat telinga sakit. Jadi, hampir sepanjang hari itu Gavin berceloteh tentang Venus, yang sebenarnya tentu saja sudah kuketahui juga, dasar idiot. Semuanya berdasarkan hasil pengamatan diam-diamnya memperhatikan gerak-gerik Venus di sekolah dan di media sosial. Mendadak hari ini dia jadi bawel dan begitu bersemangat. 

Belum pernah dia begini sebelumnya pada cewek-cewek yang pernah dia taksir atau pada mantan-mantannya. Kali ini dia seperti kena sihir.

Dia bersikap seperti itu sampai besoknya, lalu besoknya lagi, dan besoknya lagi. Hari Kamis.

"Tapi, kenapa? Kenapa Venus?" tanyaku. Kami sedang duduk di pinggir lapangan saat pelajaran olahraga, baru selesai ambil nilai main basket, meneguk sebotol air mineral dingin, sambil sesekali melihat sekilas barisan anak perempuan yang sedang gantian ambil nilai.

"Ya, pokoknya ada sesuatu tentang dia yang menarik. Punya gaya sendiri, kelihatan selalu tenang, kelihatan pintar juga."

Jadi, itu alasan Gavin tertarik padanya. Aku bisa menebaknya. "Ah," aku menganggukkan kepala sambil memicingkan mata, melihat ke arah langit biru yang menaungi. "Yah, nggak salah."

"Benar, kan?" Gavin tersenyum, matanya kembali melirik sesaat ke arah anak-anak perempuan di lapangan. Tentu, ke arah Venus, siapa lagi. Kemudian, dia menoleh ke arahku. "Jadi, gimana?"

Dahiku berkerut. "Gimana apanya?" ulangku, lalu meneguk air.

Gavin memberi penekanan pada intonasi suaranya, "Gua harus gimana? Lu, kan, kenal dia."

Aku benar-benar tidak tahu. Dia mau berbuat apa? Satu hal yang terlintas di benakku adalah hari Sabtu minggu ini, aku akan pergi berdua lagi dengan perempuan yang disukainya itu. Akhirnya, kukatakan jujur kalau aku akan pergi dengan Venus di waktu dekat ini. Respon Gavin  tidak curiga, apalagi kesal, cemburu, iri, atau apapun. Sebaliknya, dia sumringah sekali. Dia meminta supaya aku banyak mengobrol dengan Venus, yang tentu saja akan kulakukan tanpa diminta karena memang itu juga yang ingin aku lakukan. Kata Gavin, aku perlu tahu banyak soal Venus—yang tentu saja, aku sudah tahu cukup banyak atau lebih banyak darinya—supaya aku bisa membagikan beberapa  informasi padanya. Dengan begitu, dia juga bisa tahu tentang Venus lebih banyak lagi. Pengetahuannya itu mau dia jadikan sebagai landasan untuk memulai serta mengarahkan percakapan dengan Venus supaya mereka bisa nyambung. 

Satu hal yang terlintas di otakku saat dia bilang begitu, Apa?.

"Dia susah didekati," Gavin memohon, mengacak rambutnya. "Memangnya ada yang nggak segan sama dia?"

Untuk orang yang tidak terlalu mengenal Venus, memang kelihatannya dia seperti punya semacam aura yang membuat orang lain merasa berjarak. Seperti ada tembok tidak kasat mata yang membatasi antara dirinya dengan orang lain.

Tapi, yang benar saja? Aku menunjuk diriku sendiri, "Hei, hei, gua nggak?"

"Karena lu satu kelompok sama dia. Kalian ketemu, ngobrol, diskusi. Lah, gua? Coba pikir, apa yang bisa diobrolin?"

"Banyak. Mata pelajaran? PR? Atau apa gitu yang lain. Itu masalah gampang."

Oke, sebenarnya aku paham, Gavin sama sekali tidak ingin mempermalukan dirinya di depan Venus. Dia ingin memilih topik yang benar-benar sesuai.

AtlasTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang