"Any backup plans?" tanya Venus sembari terus berjalan, sementara kami baru saja melewati jembatan layang yang sangat ramai. Semruwet sekali melihatnya. Gedung tempat pameran seni instalasi itu sudah mulai tampak di depan kami, kira-kira sekitar tujuh puluh meter lagi."Backup plans?" dahiku mengernyit.
"Kalau seandainya—jangan sampai—belum rezeki untuk belajar di luar negeri, what will you do then?" Venus melipat tangan di dada sambil menyipitkan mata, sinar matahari sore memang luar biasa teriknya. Sementara itu, warna jingga menyinari trotoar, mengintip dari sela-sela dedaunan serta ranting pohon, dan menyelinap di antara sela-sela pagar kantor pos di sisi kiri kami. Aku memotretnya beberapa kali, what a beautiful golden hour.
"Beli gerobak dan jualan bakso keliling," jawabku asal yang disambut tatapan tidak setuju dari Venus, alisnya terangkat sebelah. "Kenapa? Mau langganan atau mau bantu jualan?"
Kemudian, kupotret cepat wajah bingungnya dan dia tertawa. Malu, katanya, lalu langsung minta hapus.
"Ikut Seleksi Bersama Masuk Perguruan Tinggi Negeri itu pasti," jawabku sambil mengangkat bahu. "Mungkin juga daftar institut seni? Jangan kebanyakan mikir plan B, lah. Belum juga mulai perang."
Lalu, pandanganku teralihkan pada bangunan putih yang cukup besar di hadapan kami. Kupastikan nama gedung serbaguna itu sesuai dengan apa yang tertera di catatan Venus. Benar, tapi, sungguhan yang ini tempatnya? Kelihatannya lebih mirip sebuah kantor tetap daripada gedung serbaguna tempat pameran seni itu digelar. Bukan bermaksud meragukan tingkat ketelitian dan keakuratan Venus dalam mencari informasi, aku percaya orang macam dia jarang bertindak ceroboh—hanya saja, sekarang kami sudah bolak-balik keluar-masuk, naik lift, naik-turun untuk mengecek peta ruangan gedung, memutari halaman dan lapangan parkir yang sebagiannya terisi mobil, bahkan kami juga mengecek basement yang ternyata tidak terlalu penuh. Dan ya, kami tidak menemukan apa-apa. Baiklah, ralat, aku menemukan banyak hal. Aku memotret jejeran jendela gedung, bunga bougenville dan kamboja yang sedang mekar, pantulan cahaya matahari (lagi dan lagi). Tapi, di mana letak pameran seni instalasi itu?
Seorang satpam datang menghampiri dan bertanya kami sedang mencari apa atau siapa. Venus menjawab kami sedang mencari pameran seni yang digelar tiga minggu lalu dan satpam itu langsung tertawa, mengatakan bahwa cukup sering ia menjawab pertanyaan serupa. Dia memberitahu di mana letak pameran itu. Kemudian, kami baru menyadari bahwa papan yang menunjukkan lokasi pameran itu ternyata ada di sebelah pintu masuk dan kami sama-sama menertawakan kebodohan kami.
Kami sampai di pameran seni yang rupanya ada di lantai paling atas, dijaga seorang satpam lainnya yang tampak malas dan mengantuk duduk di mejanya. Ia menghentikan kami dan selama beberapa detik memeriksa tas serta saku pakaian kami.
"Kita sudah lewat jalanan ini tadi," kataku, "tinggal belok ke kanan sekali, harusnya bisa sampai dari tiga puluh menit yang lalu!"
Setelah membeli tiket masuk dan menitipkan tas kami di loket penitipan barang, kami masuk dan menyusuri satu-satu karya instalasi. Instalasi seni lampu—seperti yang kucari, tentu saja ada. Ada dua ruangan persegi yang diisi dengan jenis lampu yang berbeda, pada ruangan pertama kaca di semua sisi memantulkan lampu berbagai bentuk berwarna keemasan dan kaca pada ruangan kedua memantulkan lampu kristal berwarna-warni. Tak jauh dari sana, terdapat sebuah ruangan serbahitam yang lampunya dimatikan dan seperti konsep taman pada malam hari, pada lantai ruangan itu terdapat semak-semak bunga imitasi berbentuk abstrak yang dihiasi lampu-lampu kecil menyala berwarna-warni, berkedip-kedip secara bergantian.

KAMU SEDANG MEMBACA
Atlas
Ficção AdolescenteUntuk Atlas: Sekeras apapun usahamu, perempuan bernama Venus itu akan selalu tampak penuh misteri di matamu. Dunianya tak lain satu planet berisi koleksi kontradiksi dan kumpulan paradoks yang saling terikat, bertumpang tindih, bercampur aduk memben...