Senin berjalan sama seperti hari-hari biasanya. Guru pelajaran Matematika memaksa para murid menjawab pertanyaan di papan tulis demi sebuah poin tambahan pada nilai UTS, guru Sejarah menagih PR dan menghukum beberapa anak yang belum selesai mengerjakan (salah satunya Atlas), dan pelajaran lain berlangsung seperti biasa; tidak ada yang spesial. Dalam rangka menghibur diri, sepulang sekolah, kuputuskan naik bus kota dengan rute yang berlawanan dengan arah rumahku. Hingga akhirnya aku sampai di Jalan Panjang Belimbing Raya.
Jalan Panjang Belimbing Raya dikenal sebagai pusat pasar loak di kotaku. Jalan Panjang Belimbing Raya sungguhan berbentuk satu jalan panjang, kanan-kirinya dipadati ruko-ruko bermodel lama yang di dalamnya ada sebuah pasar. Ruko dan pasar itu menjual barang-barang bekas; elektronik, pajangan rumah, perabotan, pakaian, kaset, vinyl, dan yang terpenting, buku bekas. Salah satu toko yang menjual buku bekas di Jalan Panjang Belimbing Raya adalah Toko Buku Arjuna.
Tentu saja tujuanku datang ke sini hari ini tak lain untuk mengunjungi toko buku itu. Aku melirik jam digital yang terpampang pada layar ponselku, waktu menunjukkan pukul tiga lewat dua puluh menit. Di depan mataku, mulai tampak satu ruko berlantai dua dengan pintu harmonika berwarna cokelat tua. Di depannya terdapat sebuah papan besar berwarna putih dengan tulisan berwarna biru tua, "Jual Beli Buku Bekas: Toko Buku ARJUNA".
Seperti biasa, musik-musik jadul lokal diputar di toko buku ini. Sebagian besar bukunya berdebu dan beberapa rak kayunya hampir reyot. Buku-buku yang tidak cukup untuk ditaruh di rak dibiarkan menumpuk berantakan di sudut-sudut ruangan, ada yang tergeletak tak beraturan hanya beralaskan kain tipis di bawah tangga, ada juga yang ditaruh secara acak di dalam sebuah bak plastik. Di lantai dua, masih ada lagi buku-buku dengan cara penyusunan dan penempatan yang sama persis; di rak, kalau tidak cukup diletakkan di mana saja. Kipas angin yang menempel di dinding belakang meja kasir berputar dengan kekuatan maksimal. Penjaga kasirnya, Pak Setno, yang berkacamata kotak dengan bingkai tipis dan berambut putih itu, melambai dan menyapa ketika melihatku datang.
Setelah berpindah dari satu rak ke rak lainnya untuk mencari buku puisi dan novel sastra yang menarik, aku sampai pada sebuah rak yang berisi buku kumpulan cerpen. Buku-buku itu disusun secara berurutan sesuai tahun terbitnya, berawal dari pertengahan tahun 80-an sampai awal tahun 2000-an. Aku mengambil salah sebuah buku kumpulan cerpen terbaik pilihan surat kabar yang diterbitkan pada tahun 1988. Kubaca judulnya, Derai, Surai. Menarik, kubuka perlahan. Tak hanya covernya yang hampir sobek dan lepas, lembaran kertas di dalamnya pun sudah menguning, mengeluarkan bau khas buku lama, dan pada beberapa tulisan, hurufnya hampir pudar termakan usia. Aku membuka daftar isi dan membaca satu-satu judul cerpen beserta penulisnya. Dan, perhatianku mendadak terhenti pada tulisan, "Blinding Anomaly (Fatma Mawarsari).................247.".
Mataku menyipit. Kubaca sekali lagi namanya dengan lebih hati-hati, Fatma Mawarsari. Aku tidak salah baca. Ya, Tuhan. Benar, cerpen yang berada di urutan paling terakhir itu karangan alm. Nenek Fatma. Kuabaikan cerpen-cerpen lainnya, langsung kubuka halaman dua ratus empat puluh tujuh, dan mulai membaca paragraf pertama dari cerpennya.
"Sudah dua hari kakak hilang. Ke sana-sini Ibu mencari remaja berbadan kecil itu. Dicarinya ke seluruh penjuru rumah, ke pekarangan, ke toilet, ke semua kolong meja, ke semua balik pintu, ke lemari-lemari di setiap kamar yang isinya dikeluarkan. Barangkali kakak sedang sembunyi sehabis main petak umpat bersama adik, tapi sudah dua hari kakak hilang. Bapak tak kalah heboh mencarinya ke sana-sini, bertanya ia ke semua tetangga yang lewat depan rumah kami setiap pagi dan sore, bertanya ia ke tukang pos dan loper koran, bertanya ia ke penjaga-penjaga toko di pasar, bertanya ia ke seluruh rekannya di kantor. Tiga hari kakak hilang, semua orang hampir menjadi gila, Ibu menangis hampir tak henti, polisi tak mau kalah heboh mencari..."

KAMU SEDANG MEMBACA
Atlas
Genç KurguUntuk Atlas: Sekeras apapun usahamu, perempuan bernama Venus itu akan selalu tampak penuh misteri di matamu. Dunianya tak lain satu planet berisi koleksi kontradiksi dan kumpulan paradoks yang saling terikat, bertumpang tindih, bercampur aduk memben...