Pertengahan bulan Januari, sekolah kembali masuk dan semester baru pun dimulai.
Semua murid di kelas terlihat mulai mempersiapkan untuk ujian-ujian yang akan datang; ujian praktek, ujian sekolah, ujian nasional, hingga ujian masuk perguruan tinggi. Waktu pulang sekolahku kini diisi dengan bimbel, tidak lagi hanya belajar dan mengerjakan tugas sendirian di rumah. Di samping itu, pendaftaran perguruan tinggi negeri melalui jalur undangan sudah dibuka. Bagi murid yang nilai rapornya masuk ke dalam kriteria, dipersilahkan untuk menemui guru BK (Bimbingan Konseling) untuk berkonsultasi sebelum benar-benar mendaftarkan diri.
Aku dan Damita siap-siap berkonsultasi siang itu saat jam istirahat pertama pada suatu hari Selasa, bersamaan dengan Atlas dan sebagian temannya yang juga masuk ke dalam ruang BK. Ada Gavin di sana. Kebetulan aku dan Gavin duduk berhadapan, dia ada di seberangku, di sebelahnya ada Atlas. Oh, Atlas mengambil kesempatan jalur undangan juga ternyata. Kukira, dia benar-benar hanya mau fokus pada studinya ke luar negeri.
Saat giliran Atlas maju menghadap guru BK, samar-samar kudengar dia masih kurang yakin ingin mengambil jurusan apa, mengingat pilihan jurusan di perguruan tinggi negeri di sini cukup terbatas. Dia bilang, dia ingin masuk jurusan Photojournalism, Jurnalistik, atau Fotografi dan membeberkan informasi sedang menyiapkan berkas untuk mendaftar ke dua universitas di luar negeri melalui jalur beasiswa. Selanjutnya, kudengar guru BK kami mengatakan tidak banyak jurusan seputar fotografi di perguruan tinggi di sini, kecuali di institut seni.
"Jurusan Jurnalistik ada. Atau Ilmu Komunikasi, bagaimana?"
Aku tidak lagi menyimak, jadi tidak tahu apa pertimbangan selanjutnya. Tahu-tahu, giliran Atlas sudah selesai dan dia keluar dari ruangan, dilanjutkan dengan anak lainnya yang berkonsultasi. Hingga beberapa menit kemudian, giliranku duduk di depan guru BK untuk membicarakan rencana studiku.
"Sastra Inggris, ya?" beliau mengangkat kacamatanya, lalu melirik sebuah kertas berisikan daftar nama serta nilai semua anak di angkatanku. "Siapa namamu tadi? Venus? Ah, nilaimu baik. Bisa bersaing. Ke mana kampus tujuanmu?"
"Yogyakarta."
"Wah," guru BK di hadapanku tampak berpikir. Kemudian, dia mengambil kertas lainnya dari tumpukan dokumen di sebelahnya, membolak-balikkan beberapa halaman. "Coba kita lihat batas nilai minimal untuk jurusan itu dan kita lihat data alumni yang kuliah di sana, terutama di jurusan itu. Kalau ada alumni di sana, lebih memudahkan jalan masukmu. Begitulah sistem jalur undangan, masih sama."
Aku diam dan menunggu, mengamati meja kosong milik dua guru BK yang lainnya sembari berpikir, Kenapa yang menangani rencana studi kuliah hanya satu guru BK? Padahal, kami mengantre lumayan panjang. Lalu, teringat, Oh, ya, yang lainnya adalah guru kesiswaan yang bertugas mendisiplinkan peraturan sekolah.
"Kenapa mau ambil jurusan Sastra Inggris?" tanya guru BK lagi, membuyarkan pikiranku.
"Saya suka menulis dan membaca buku. Buku-buku lama, sastra klasik, puisi, novel."
"Harus Sastra Inggris?"
"Apa nilai rapornya nggak mencukupi?" aku balas bertanya, was-was.
"Nilaimu cukup, tapi benar-benar ada di batas nilai minimal untuk di universitas itu. Mepet sekali. Universitas lain, bagaimana?" guru BK di hadapanku menyodorkan kertas berisi tabel dengan judul 'Jurusan Sastra Inggris', di sana tertera batas nilai minimal dan nama perguruan tinggi negerinya. Beliau menunjuk beberapa nama perguruan tinggi di daerah lain. "Ada banyak pilihan universitas lain yang nilainya lebih masuk dengan nilai rapormu. Mungkin bisa dijadikan pertimbangan."
Aku mengambil kertas berisi tabel tersebut dan melihat beberapa nama perguruan tinggi negeri lainnya yang memiliki jurusan Sastra Inggris, lalu bertanya apakah ada alumni yang masuk di jurusan dan kampus yang kuinginkan. Guru BK di hadapanku menggelengkan kepala. Aku mengangguk mengerti, tapi tetap menunjuk jurusan Sastra Inggris untuk perguruan tinggi negeri di Yogyakarta, lalu universitas lainnya untuk pilihan kedua. Guru BK mencatat namaku, pilihan jurusan serta nama universitas, lalu mengingatkan untuk mengabari jika aku ingin mengubah pilihanku, dan memberikan kertas kecil berisi petunjuk untuk mendaftar jalur undangan melalui website. Aku mengucapkan terima kasih, lalu keluar dari ruangan.
KAMU SEDANG MEMBACA
Atlas
Teen FictionUntuk Atlas: Sekeras apapun usahamu, perempuan bernama Venus itu akan selalu tampak penuh misteri di matamu. Dunianya tak lain satu planet berisi koleksi kontradiksi dan kumpulan paradoks yang saling terikat, bertumpang tindih, bercampur aduk memben...