EPILOG

79 9 6
                                    

Pagi-pagi pada hari Sabtu yang cerah dan terasa tenang.

Aku punya sebuah firasat yang sama sekali tidak bisa kujelaskan dengan cara apapun. Jadi, izinkan aku untuk mencoba menguraikan mereka satu demi satu. Baiklah, begini awal mula dari firasatnya. 

Mari kembali pada hari pertama di kelas Bahasa Indonesia, hari di mana aku menulis fakta nomor tiga belasku yang isinya mengungkapkan bahwa aku diam-diam mengagumi seseorang di kelas, yaitu Atlas—maka, seandainya aku bisa ubah fakta nomor 13 itu, kalimatnya akan berubah menjadi demikian:

13. Menjadi pengagum rahasia sama sekali tidak menguntungkan. Pertama, kau menyia-nyiakan banyak waktu untuk menyukai seseorang yang hanya berupa ide di kepalamu. Kedua, cepat atau lambat kau akan dibuat kecewa setelah mengenalnya. Ketiga, beruntunglah jika kau tidak ditampar kenyataan bahwa orang yang kau suka ternyata sesuai dengan ide tentang dirinya di kepalamu dan tentu, itu tidak mengecewakan sama sekali! Itu bagus. Keempat, namun akan menjadi mengecewakan jika meskipun orang itu sesuai dengan ide di kepalamu, tapi realita dan faktor di luar kendali dirimu yang mempermainkan jalanmu bersamanya. Bukankah itu menyedihkan?

Kadang, kita tidak bisa mereka-reka tentang apa yang nantinya kita temui, pengalaman apa saja yang akan membentuk diri kita, hingga ke mana diri kita akan bermuara. Kadang, aku juga bertanya-tanya, untuk apa harus mengalami semua ini? Misalnya, untuk apa aku harus bertemu Atlas di satu titik, lalu berpisah di titik selanjutnya. Hanya begitu saja. Selewat. Seolah hanya mampir sesaat di kehidupanku, lalu pergi lagi.

Itu masih jadi misteri bagiku. Kenapa? Untuk apa?

Tapi, aku punya satu firasat yang tidak bisa kujelaskan dengan cara apapun.

Aku berusaha mengabaikannya dan mencoba fokus pada hal-hal baik yang kurasakan belakangan ini, seperti tinggal di Yogyakarta ternyata menyenangkan juga. Aku bertemu Rasyid. Kami mengobrol dan berusaha mengenal satu sama lain lagi, melupakan kejadian-kejadian lama yang tertinggal di belakang punggung kami. Bagusnya, itu berhasil. Anehnya, sekarang kami berteman. Kurasa, kami memang lebih cocok menjadi teman. Selama dua bulan memulai kegiatan perkuliahan, aku punya beberapa teman baru di kampus, mereka menyenangkan. Kami mengikuti klub buku dan menulis serta kerajinan tangan. Aku juga berencana untuk menjadi sukarelawan di salah satu komunitas lingkungan di Yogyakarta.

Tidak hanya itu, Ibuku juga rajin menengok ke kosku. Kami cukup sering menghabiskan waktu berdua di akhir pekan. Dua hari yang lalu ayahku ke Yogyakarta bersama Mas Kekar, kebetulan saat Ibu sedang datang menjenguk. Untuk pertama kalinya kami berempat bertatap muka, setelah bertahun-tahun lamanya tidak pernah berjumpa. Ayah dan Ibu akhirnya mau berbincang, meskipun dalam beberapa momen mereka terlihat cukup tegang.

Sejauh ini pula, meninggalkan rumah membuatku berpikir banyak. Dan, berpikir banyak berarti menulis lebih banyak. Tentang yang lalu-lalu. Tentang bagaimana ada banyak persimpangan jalan tempat bertemu dengan seseorang, berkenalan, memiliki momen bersama yang menyenangkan, lalu waktu berjalan dan memberi ruang untuk memisahkan. Layaknya garis paralel, bersinggungan hanya untuk berpisah pada ujungnya. Bukankah lebih baik tidak dipertemukan sama sekali?

Namun, apakah memang begitu cara kerja kehidupan?

Tidak akan pernah ada jaminan seseorang akan berada bersama kita selamanya, sekarang atau nanti. Misalnya, Ayah dan Mas Kekar sekarang tidak lagi tinggal bersamaku. Ibu yang sejak lama pergi dari hidup kami dan mengejar kehidupannya sendiri. Rasyid, Damita, Gavin yang kini sibuk menjalani hidupnya masing-masing.

Atlas.

Nama itu muncul lagi.

Aku jelas tidak bisa mengabaikannya. Rasanya ada satu suara yang terus menggaungkan namanya di kepalaku, berkali-kali memanggil, dan memaksaku untuk mengingatnya. Aku tidak suka kondisi ini dan berusaha menepisnya berkali-kali, tapi sangat sulit.

Jadi, satu saran dariku, ketika kau menyukai seseorang, katakanlah.

Selagi masih ada kesempatan. Sebelum banyak hal berubah, hari silih berganti, dan semuanya sudah jadi terlalu terlambat. Aku tidak pernah menyarankan seseorang untuk menjadi pengagum rahasia karena itu hanya tindakan para pengecut yang tidak berani mengutarakan perasaan. Akulah korban dari kepengecutanku sendiri. Sekarang harus kutelan bulat-bulat konsekuensi bahwa aku mau tak mau, harus melupakannya. Segalanya. Di belakang. Kupikir tidak akan ada lagi kesempatan untukku.

Kami sudah berada di jalan masing-masing dan mungkin lebih baik menjadi seperti ini.

Meskipun aku berusaha keras untuk meyakinkan diriku bahwa semuanya baik-baik saja dan memang baiknya seperti ini, aku tidak bisa membohongi diriku sendiri.

Aku ingin tahu tentang kabar Atlas. 

Bagaimana kabarnya? 

Sudah lama sekali kami tidak bersua. Kulihat  di Instagram Karinta, hari ini dia dan teman-temannya sedang mengantarkan Atlas ke bandara. Jadi, apakah dia akhirnya mendapatkan apa yang selama ini diimpi-impikan? Aku benar-benar beharap demikian. Diam-diam, aku turut senang melihatnya. 

Apakah aku harus mengucapkan selamat padanya?

Aku masih punya satu firasat yang tidak bisa kujelaskan dengan cara apapun. Aku tidak tahu, suara hati itu hendak mengatakan apa atau menjelaskan apa. Aku hanya merasakan ada suatu dorongan kuat, perasaan mengganjal yang aneh, dan aku tidak bisa menepisnya dengan cara apapun.

Sementara itu, lagu Vienna oleh The Fray berputar memenuhi seisi ruangan kosku.

There's really no way to reach me

There's really no way to reach me

There's really no way to reach me

'Cause I'm already gone

Mendadak saja, aku teringat sesuatu.

Buru-buru kuperiksa seisi kamarku untuk memastikan satu barang—yang anehnya—tidak kutemukan di mana-mana. Aku mulai panik.

Maybe in five or ten

Yours and mine will meet again

Straighten this whole thing out

Padahal, aku meletakkan barang itu di salah satu tas jinjing yang kubawa saat pertama kali berangkat ke Yogyakarta.

Maybe then honesty need not be feared as a friend or an enemy

But this is the distance

And this is my game face

Wajahku berubah pucat pasi. Jantungku terasa berhenti berdetak. Waktu seolah berjalan melambat.

There's really no way to reach me

There's really no way to reach me

Aku punya firasat yang tidak bisa kujelaskan dengan cara apapun dan sekarang aku tahu. Aku tahu apa yang firasatku ingin sampaikan padaku.

Is there really no way to reach me?

Am I already gone?

Aku tidak menemukan CD playlist Meet me, Venus (Vol. 1) itu di mana-mana.

— Selesai —





*Lirik lagu pada bagian ini merupakan penggalan dari lagu Vienna oleh The Fray.

AtlasTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang