Tahun Baru, Awal Baru

77 12 3
                                        

Payung kubuka lebar, warnanya kelabu menyerupai warna langit dan awan-awan yang menggumpal. Rintik hujan terus berjatuhan, jalanan basah. Sekarang baru pukul empat sore dan aku berjalan memegangi payung, menyusuri trotoar di sepanjang jalanan kota sendirian. 

Sebenarnya, tempo hari Gavin sempat menawarkan diri menemaniku ke perpustakaan hari ini, tapi kutolak. Aku sedang ingin pergi sendirian, menghabiskan waktu di perpustakaan hanya dengan diriku sendiri, melihat-lihat suasana kota, menyusuri jalanannya, mengamati lampu-lampu dan gedung-gedung sendirian. Jadilah aku pergi sendirian ke perpustakaan. Meskipun di tengah-tengah hujan seperti ini, aku menyukainya. Sementara itu, melalui earphone yang kupasang, bisa kudengar petikan gitar intro dari lagu Bizarre Love Triangle yang dibawakan oleh Frente!.

Seharian ini, di tengah-tengah seluruh perjalanan sendirian hari ini serta ketenangan yang didapatkan selama di perpustakaan, aku masih memikirkan hal yang sama: Atlas yang terus menjauh dan Gavin yang semakin lama membuatku kurang nyaman.

Gavin mulai bertanya banyak hal yang sifatnya cukup pribadi; keluarga, masa lalu, impian, dan lainnya. Sepertinya dia kurang menyadari sifat hati-hatiku dalam memilih-milih siapa yang sekiranya mendapat kunci emas untuk membuka pintu dan mengetahui berbagai sisi dari diriku. Yah, aku bisa saja terbuka padanya kalau ada alasan lain. Jika seandainya dia adalah orang lain atau aku punya alasan kuat untuk terbuka padanya. 

Sayangnya, dia hanya teman kelompok belajar yang sekarang jadi begitu peduli dengan kehidupanku. Aku tidak bisa menjawab semua pertanyaannya yang menyangkut kehidupan pribadi karena memang aku tidak mau, aku belum menemukan alasan mengapa aku harus terbuka padanya dan menceritakan banyak hal. Bagaimana kalau aku mulai memberikan sinyal kalau aku ingin menjaga jarak darinya?

"Jangan dulu, oke?" Damita menatapku, begitu mendengar pikiran itu terlontar dari mulutku, keesokan harinya. "Jangan menjaga jarak atau menghindar."

Ketidaknyamanan tentang Gavin masih mengusik pikiranku hingga keesokan harinya, hari Minggu, saat aku dan Damita sedang mengulik soal-soal Ekonomi di rumahnya. Kami sedang belajar untuk ujian hari Senin besok dan aku membawa topik itu ke waktu belajar kami.

Dahiku berkerut, "Kenapa jangan?"

Damita mengangkat bahu, pandangannya heran. "Dia baik." bantahnya.

"Hanya itu?" aku mengangkat sebelah alisku. "Baik. Semua orang pada dasarnya baik."

"Nggak, nggak semua orang itu baik." kata Damita, memberi koreksi.

"Oke, mungkin memang nggak. Tapi, baik bukan sebuah 'alasan', tahu kan?"

"Lihat usahanya. Sejak kapan? Oktober? Dua bulan dia berusaha supaya bisa kenal sama lo dengan banyak cara."

Aku memandang Damita, menggeleng, tanda memprotes dalam diam. Damita balas memandangku dengan bahu terangkat seolah mengatakan, Apa?. "Dia betul-betul suka sama lo kelihatannya." Damita berkata lagi.

"Tapi, kita nggak nyambung, Dam." ujarku.

"Mungkin belum? Lo nggak terbuka sama dia. Just give it a try."

Aku menghela napas. Menanggapi ujarannya yang terakhir, aku hanya terdiam dan kembali mengerjakan latihan soal Ekonomi yang tersisa.

Damita menimpali lagi, "Tapi, ya, terserah..."

Keesokan harinya, pada hari Senin, aku menemui Aya di kelas sepulang sekolah untuk memberi kabar kalau bagian laporan Bahasa Indonesia-ku sudah rampung. Kami berdiskusi sesaat mengenai siapa yang akan menggabungkan semua file, Aya bersedia katanya, dan tiba-tiba saja, Atlas datang. Dia berdiri di belakang Aya yang berdiri di hadapanku. Mau tak mau, aku memandang ke arahnya, terpaksa harus melihat wajahnya. Dia mengenakan jaket biru gelapnya, tas ransel sudah bertengger di kedua pundaknya, rambutnya lebih rapi dan sedikit lebih pendek dari biasanya. Rambutnya baru dipangkas rupanya. 

AtlasTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang