Keajaiban dan Telepon dari Ibu

50 10 0
                                    

Beberapa hari setelah aku mengikuti ujian mandiri untuk perguruan tinggi negeri di Yogyakarta, sebuah kabar kurang menyenangkan malah datang. Waktu itu Minggu malam, sekitar pukul sebelas, aku hendak tidur dan Ayah masih menonton film di televisi di lantai bawah. Tepat ketika aku ingin mematikan lampu kamar, menutup jendela, membanting tubuh ke atas tempat tidur, dan memejamkan mata—terdengar samar-samar suara Ayah mengangkat telepon. Mulanya, intonasinya terdengar biasa saja, lama-kelamaan jadi terdengar panik.

Mendengar itu—ada sesuatu yang sepertinya tidak beres—aku bergegas membuka kembali selimut yang semula menutupi badanku dan menuruni tangga untuk memeriksa Ayah. Aku duduk di kursi meja makan sambil menyesap air putih hangat, menunggu penjelasan apapun dari Ayah. Sementara Ayah diam, begitu serius mendengarkan suara dari seseorang di telepon. Jangkrik bernyanyi di halaman luar rumah, jarum jam dinding yang bergeser terdengar memenuhi seisi ruangan. Suasananya terasa cukup mencekam, melihat air muka Ayah yang semakin lama terlihat semakin khawatir. Aku menanti dan terus memperhatikan gerak-geriknya, mencoba memahami beberapa balasan lemas dari Ayah yang hanya berbunyi, 'Oh, baik... begitu, ya. Seberapa parah? Kira-kira berapa hari?' dan lain sebagainya.

Setelah akhirnya telepon itu ditutup, aku bertanya, "Siapa yang sakit?" dugaanku, mungkin keluarga yang ada di luar kota, entahlah, adik atau kakak Ayah yang lain.

Ayah menghempaskan tubuhnya di atas sofa, setelah selama sepuluh menit berbincang dengan penuh ketegangan di telepon, "Kakakmu itu," Ayah tampak bingung sekaligus lelah, "dia naik bus hari ini, untuk membeli apalah, busnya tabrakan."

"Lalu?"

"Ya, penumpangnya luka-luka."

Baru aku cemas. "Mas Kekar juga?"

"Kekar di rumah sakit. Tulang kaki dan tangannya ada yang patah."

Tunggu, apa?

"Tadi siapa yang menelepon?"

"Teman satu timnya."

"Lho, dia nggak apa-apa?"

"Hanya Kekar yang naik bus itu, lagi jalan-jalan sendiri."

Baru kali ini aku melihat Mas Kekar begitu apes. Biasanya dia selalu beruntung—bahkan, salah satu orang paling beruntung yang pernah kutemui. Tumben betul dia mengalami kejadian macam ini. Padahal, beberapa waktu yang lalu dia menang lomba, diwawancarai media-media online serta cetak, bangga bukan main, cengengesan terus setiap kali kami video call—memamerkan senyum gigi kudanya yang sumringah sekali, dan tiga hari lagi seharusnya dia akan terbang kembali ke Jakarta. Aku benar-benar tidak habis pikir. Kalau tidak membawa berita yang sangat baik, berita yang dibawanya buruk sekali. Padahal, waktu itu sebelum berangkat ke Jerman, Mas Kekar sendiri yang berpesan padaku untuk jaga kesehatan dan jaga diri baik-baik.

Ayah tidak bisa tidur dan bersikeras baru mau tidur setelah dia berbicara langsung dengan Mas Kekar. Baru pertama kali aku melihatnya begini, biasanya dia seolah tidak peduli dengan apapun yang terjadi di dunia. Pada pukul dua belas malam, akhirnya kami mendapat kesempatan itu. Sementara saat itu, di tempat Mas Kekar, Berlin, masih pukul enam sore, kami mengobrol lewat video call, Mas Kekar berbaring di atas tempat tidur rumah sakit yang dilapisi sprei putih.

Mas Kekar menunjukkan tangan kanan dan kaki kirinya yang sudah dilapisi gips dan masih sempat-sempatnya menanyakan kabar kami sambil bercanda-canda, bilang kalau rasanya seperti di film-film; kecelakaan kendaraan darat dan kaki serta tangan dilapisi gips dan mengentengkan keadaannya karena hanya berupa patah tulang ringan, "Tenang, patah tulang ringan ini walau sakit sekali, tapi nanti juga bakal sembuh.". Ayah yang panik dan hampir marah karena bisa-bisanya dia bercanda menertawakan nasibnya di situasi serius seperti ini.

AtlasTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang