(...Bersambung.)

250 25 1
                                    

            Ternyata, gedung Perpustakaan Kota jauh lebih besar dari yang selama ini kuduga. Gedungnya berwarna putih dengan jendela-jendela besar yang mengarah ke seluruh penjuru kota, tamannya luas dihiasi bunga gardenia dan bugenvil ungu serta merah muda, lantainya mencapai empat belas tingkat. Setiap lantai memiliki kategorinya masing-masing, seperti lantai satu untuk administrasi dan pendaftaran kartu anggota, lantai dua khusus berisi buku anak-anak, lantai tiga dan empat untuk buku-buku akademik dan ilmu pengetahuan, dan seterusnya. 

Kami memulai pencarian buku di lantai tiga. Rak-rak kayu tinggi berisi buku-buku yang tersusun rapi dan sempurna bediri di sekeliling kami, memanjakan mata, beberapa meja bundar di tengah-tengah ruangan diisi beberapa orang, yang sepertinya mahasiswa, sedang mengerjakan tugas sembari menyalin sesuatu dari buku tebal di hadapannya. Aku memandang sekeliling dan tak bisa berhenti terkagum-kagum. Aku tersenyum kecil dan langsung menyadari satu hal, ini adalah tempatku. Bahkan sejak pertama kali menginjakkan kaki di lantai ini, aku dapat langsung mencium aroma kertas yang lebih menenangkan melebihi aroma apapun.

Kami mulai mencari bagian rak buku seni untuk mencari judul-judul buku yang sudah kucatat. Sekitar dua puluh menit menyibak berbagai buku dari berbagai rak, kami tidak menemukan bagian seni di lantai tiga. Akhirnya kami naik satu lantai dan menemukan rak berisi buku-buku seni di tengah-tengah lantai empat. Koleksinya lengkap. Di catatanku ada tujuh judul buku yang bisa digunakan untuk tugas Bahasa Indonesia dan kami menemukan ketujuh-tujuhnya, tapi sesuai peraturan, kami hanya bisa meminjam paling banyak tiga buah buku dan maksimal peminjaman selama dua minggu, selebihnya akan dikenakan denda. 

Jadi, kami memutuskan untuk memotret halaman-halaman yang penting saja yang bisa kami gunakan sebagai referensi. Setelah kami mendapat buku seni kontemporer di lantai empat yang berisi rak-rak buku ilmu pengetahuan, kami menaiki tangga menuju lantai lima. Di lantai lima, yaitu lantai khusus arsip negara, buku langka, dan media cetak, seperti dokumen-dokumen penting yang diletakkan di ruangan khusus, buku-buku lama yang sudah tidak terbit atau dilarang beredar, majalah-majalah dan surat kabar lama. Koleksinya benar-benar lengkap. Atlas yang pertama kali menunjukkan satu rak penuh tumpukan surat kabar, disusun berdasar tahun terbit dan penerbitnya.

Ketika menyusuri rak surat kabar lama dan menemukan apa yang kucari sejak awal. Aku begitu bersemangat, antusias, dan tergesa-gesa. Coba tebak, kini di tanganku ada surat kabar Warta Kota terbitan tanggal 16, 17, dan 19 April 1988! Damita pasti akan ikut girang jika dia ada di sini, kami pasti akan memekik bersama.

"Jadi, untuk apa koran-koran itu?" tanya Atlas. Jari telunjukkan mengarah pada tangan kiriku yang menggenggam tiga gulungan koran sekaligus.

Lalu, dia mengikutiku berjalan menuju tempat di bagian rak paling belakang dan menyender pada salah satu rak selagi aku memilih tempat duduk di samping jendela besar dengan meja panjang yang terbuat dari kayu. Aku mulai membuka koran terbitan tanggal 17 April 1988 dan mendapati bagian tengah cerpen Nenek Fatma ada di sana, pada rubrik cerita pendek. Di bawah cerpen itu ada tulisan (bersambung...) yang berarti bersambung ke terbitan berikutnya. Dengan tergesa-gesa, aku mengambil koran terbitan tanggal 18 April 1988, sedangkan Atlas memandangi gerak-gerikku dan memotret sekali. Lalu, ketika aku menoleh karena menyadari diriku dipotret dan direkam—yang sebenarnya, sudah kusadari sejak dia merogoh tas ransel dan mengambil kameranya—dia langsung berujar, "Untuk dokumentasi."

Dia meletakkan tiga buku mengenai seni kontemporer yang akan kami pinjam di atas meja, namun hanya berdiri dan tidak duduk di kursi di hadapanku. "Seberapa pentingnya koran keluaran tahun 80-an itu?" tanyanya.

Aku, yang semula sibuk membolak-balikkan halaman dan membaca satu per satu rubriknya, mendongak dan menatap Atlas selama beberapa detik. Situasi yang cukup canggung karena hanya kami berdua yang duduk di meja panjang ini. Seperti biasa, perasaanku campur aduk—antara senang karena telah menemukan koran yang kucari-cari dan senang karena aku menemukannya bersama seseorang yang menurutku istimewa. 

Aku menjawab pertanyaan Atlas yang sebelumnya, "Sangat penting," kataku, lalu kembali mencari rubrik cerita pendek. Aku terlalu fokus mencari-cari bagian itu sehingga tidak ingin menjelaskan apa tujuanku mencari koran tersebut dan mengapa aku begitu berambisi untuk mendapatkannya. Lagipula, kupikir ini bukan waktu yang tepat untuk menjelaskan. Akan menjadi penjelasan yang panjang, rumit, dan terlalu personal. Untuk menceritakan soal ini, kupikir aku butuh sedikit waktu.

"Oh, oke," Atlas mengenakan earphone dan membalikkan badan, lalu lenyap di antara rak majalah lama.

Entah mengapa, aku berharap ia cepat kembali dan duduk di depanku—memulai percakapan, menanyakan sesuatu soal buku atau lapar tidak, atau hanya diam di sana dan sekadar menunjukkan keberadaannya—karena ketergesaan, antusiasme, dan segala ambisi yang semula menjalari tubuhku kini perlahan sirna. Seperti ada perasaan tertahan yang menyesakkan di dadaku. Rubrik cerita pendek pada surat kabar Warta Dunia terbitan 19 April 1988 ada, tapi cerpen yang dimuat merupakan cerpen baru yang sama sekali lain, penulisnya lain, jelas bukan kelanjutan dari cerpen Nenek Fatma.

Aku mulai panik, entah karena apa. Kubuka lagi Warta Dunia terbitan 18 April 1988, jelas tulisannya '...bersambung'. Bersambung ke mana? Mengapa tidak dimuat di terbitan hari berikutnya? Apa mungkin terjadi kesalahan cetak? Rasanya tidak mungkin. Atau setidaknya, tidak adakah petunjuk kira-kira dimuat di mana bagian akhir cerpen itu? Aku membolak-balikkan rubrik cerita pendek pada Warta Dunia terbitan 18 dan 19 April. Barangkali mataku salah lihat, tapi setelah kuperiksa ulang, memang benar. Pada terbitan tanggal 18 April tertera tulisan '...bersambung...' di akhir cerpen, sedangkan pada terbitan tanggal 19 April, judul cerpennya sudah lain. 

Aku tidak mengerti ada apa di balik semua ini, pertama di buku kumpulan cerpen yang kubeli dari Toko Buku Arjuna juga memiliki bagian akhir yang sobek dan sekarang, koran yang memuat cerpen ini pun tidak menerbitkan bagian akhirnya. Mengapa susah sekali untuk menemukan akhir ceritanya? Rasanya seperti ada sesuatu yang salah. Ini terlalu aneh. Fakta bahwa ini adalah tulisan Nenek Fatma yang terakhir kali diterbitkan jauh sebelum ia tua dan tidak lagi produktif menulis, masuk akal bagiku jika ada kemungkinan bahwa cerpen yang menceritakan seorang kakak yang hilang lama dan tidak diketahui akhirnya merupakan sejenis 'petunjuk' dari sisa rencana hidupnya yang terakhir. Sekali lagi, cerpen ini seperti memprediksi sisa kehidupan penulis. Latar tempat, suasana, dan situasi yang digambarkan dalam cerpen benar-benar mirip dengan kejadian sebelum Nenek Fatma wafat, yaitu ketika ia hilang berhari-hari.

Mengingat kemiripan itu selalu berhasil membuatku merinding. Kepalaku sakit, ini semacam teka-teki yang seharusnya tidak perlu kutanggapi serius. Sepertinya keluargaku yang lain pun tidak lagi mengulik alasannya, begitu juga dengan para polisi. Tapi, karena mungkin darinyalah hobi membaca dan kemampuan menulisku diwariskan, aku hanya ingin tahu—mengapa penulis berbakat sepertinya, atau penulis hebat pada umumnya, memiliki kehidupan yang mereka anggap menyedihkan dan beberapanya berakhir mengenaskan? Mengapa jarang kutemukan penulis sastra yang berbahagia?

"Hei, bagaimana? Sudah selesai?" Atlas tiba-tiba datang dan itu menyadarkanku kembali pada realita, meninggalkan bermacam-macam pikiran yang berkecamuk di dalam benakku.

"Yah, kita bisa keluar sekarang." Aku sedikit salah tingkah, pura-pura merenggangkan tangan dan tersenyum—yang dipaksakan. "Gue kembalikan koran-koran ini dulu, dan... ke mana kita selanjutnya?"

---

AtlasTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang