"Study abroad? Serius?"Stefina lekat memandangku, seolah tak percaya. Rambut lurusnya ditiup semilir angin dan ujung kardigan hitamnya yang panjang itu menjuntai, menari-nari di belakangnya. Dahinya berkerut, "Itu keren, tapi aku pikir kamu mau masuk perguruan tinggi negeri di kota ini... Seperti keinginan banyak orang."
"Termasuk kamu." aku tersenyum kecil dan dia mengangguk, tapi masih dengan ekspresi yang sama; kepala dimiringkan dan mulut menganga.
"Kamu nggak bilang dari awal," nadanya sedikit memprotes, kemudian dia menyeruput es jeruknya dan menatap sekeliling. Lampu-lampu gantung menghiasi pepohonan, alunan musik jazz dari speaker di setiap sudut, meja-meja kayu yang dipenuhi muda-mudi menyantap hidangan mereka, dan langit malam cerah berbintang. Kafe bergaya taman ini menjadi pilihan Stefina dan aku akui, ini pilihan yang bagus.
"Ada institut seni yang bagus di kota sebelah, punya jurusan fotografi yang terkenal bagus. Jaraknya hanya seratus lima puluh kilometer dari kota kita, kenapa kamu nggak pilih itu?" Stefina melanjutkan, kerutan pada dahinya masih tercetak. Dugaanku, dia takut hubungan kami akan berujung pada long distant relationship yang kemudian berakhir pada ketidakjelasan. Atau lebih parahnya, mungkin saja dia berpikir kalau aku hanya main-main mendekatinya dan akan meninggalkannya ke luar negeri begitu saja tanpa memberi kejelasan apa-apa. Apa-apaan. Karinta bilang, perempuan ini suka memikirkan hal-hal negatif, cukup sensitif, dan suka mencemasi banyak persoalan. Oh, demi Tuhan.
"Stef," kataku, "itu bukan impianku."
Dia semakin terlihat kecewa. "Kenapa harus kuliah jauh-jauh? Kamu nggak berat meninggalkan tempat ini?" tanyanya sambil mengaduk-aduk es jeruknya. "Apa yang kurang? I love this place and my family too. Aku selalu memikir ulang untuk kuliah di luar kota, apalagi luar negeri."
Aku mengangkat alis ketika mendengarnya. Betul, bisa jadi serapuh itu perempuan ini. "Kamu, kan, memang takut tinggal sendiri." ledekku sambil tertawa dan dia tergelak, sedikit. Kemudian, merengut lagi dan aku membujuknya, "Ayolah, Stef, no need to worry. Ini bakal jadi pengalaman besar buatku dan kamu bisa main ke sana kalau liburan semester. Seru, kan?"
"How about your friends?" tanyanya lagi. "Kamu bakal tinggalin mereka juga?"
Pertanyaannya kali ini sedikit mengusikku. "Aku nggak meninggalkan mereka. Mereka juga ada yang mau merantau. Ini keputusan yang adil."
Setelah itu, Stefina terdiam cukup lama. Aku juga, yang hampir tidak mengerti jalan pikirannya. Kenapa dia harus secemas itu? Asalkan dia tahu, aku sama sekali tidak pernah berniat untuk mempermainkannya dan tiba-tiba pergi, menghilang begitu saja tanpa memberi kepastian apapun. Begitu juga aku, yang mulai memikirkan jarak antara kami nanti, aku juga butuh kejelasan. Entah kapan yang akan kudapatkan hal itu dari perempuan berambut lurus berbaju hijau muda dan cardigan hitam yang kini duduk di hadapanku ini. Gerak-geriknya belum cukup membuatku yakin dan sikap tarik-ulurnya belum juga kelar.
Baru beberapa hari yang lalu dia mau menerima penjelasan dan permintaan maafku. Akhirnya, pada hari ini, Kamis malam setelah aku selesai les dan menjemputnya di tempat lesnya juga, dia mengajakku ke sini. Walaupun kami tidak bisa berlama-lama karena waktu sudah menunjukkan pukul setengah sembilan dan dia sudah dua kali ditelepon ibunya, "Jangan pulang malam-malam. Besok masih sekolah,". Dan, itu membuatku merasa tidak enak.
Ketika sampai di rumahnya pukul sembilan lewat, aku mengucap salam, meminta maaf pada ibunya yang kemudian malah disambut hangat. Dia menyuruhku mampir ke ruang tamu sebentar untuk mengobrol sambil minum teh, yang kutolak dengan sopan dan langsung pamit pulang. Selama di perjalanan, aku tidak berhenti memikirkan Stefina. Ada suatu perasaan aneh yang mengganjal karena ini adalah sesuatu yang aku impikan dan Stefina justru menunjukkan respon yang sama sekali bukan harapanku. Sekarang aku harus mencari cara untuk membuatnya yakin.
KAMU SEDANG MEMBACA
Atlas
Teen FictionUntuk Atlas: Sekeras apapun usahamu, perempuan bernama Venus itu akan selalu tampak penuh misteri di matamu. Dunianya tak lain satu planet berisi koleksi kontradiksi dan kumpulan paradoks yang saling terikat, bertumpang tindih, bercampur aduk memben...