Kejanggalan Gavin

62 8 0
                                    

Ketika Atlas melintasi koridor di depan kelas bersama Gavin dan berbincang sebentar dengan teman-temannya sambil sesekali meneguk air mineral dinginnya, aku sedang duduk di bangkuku di dalam kelas. Sambil emerhatikannya dari kejauhan, wajahnya yang tampak dari jendela, kusantap sarapan yang kujadikan bekal sambil mendengarkan salah satu lagu Best Coast yang berjudul Boyfriend.

I wish he was my boyfriend

I wish he was my boyfriend

I'd love him to the very end

But instead he's just a friend

I wish he was my boyfriend.

Ya, kulihat dari jendela kelas, dia sedang mengobrol dengan gerombolannya yang berisik itu di koridor. Entah mereka membincangkan apa, tapi tampaknya seru. Mata Atlas, seperti biasa, berbinar dan secercah senyum tercetak beberapa kali di wajahnya. Dia tertawa sesekali, lalu menyahuti perkataan salah satu temannya. Aku bisa membayangkan dan mengingat suara tawanya. Kini aku sudah familiar dengan suara itu, bahkan, hei, dua hari yang lalu aku menghabiskan banyak waktu berdua dengannya. Tapi, setibanya kami di sekolah, meskipun kami teman sekelas, ada pembatas yang, entah, membuat kami seperti berjarak lagi. Seperti tidak terlalu mengenal, seperti tidak terlalu dekat, seolah pertemanan dan kedekatan kami hanya terjadi di luar sekolah. Entah apakah benar begitu atau mungkinkah hanya perasaanku saja? Aku tidak tahu.

Tiba-tiba, pada saat yang sama aku memikirkan hal itu, pintu kelas terbuka dan Atlas masuk. Disusul Gavin di belakangnya. Dia sama sekali tidak menolehkan kepala untuk memperhatikan seisi kelas atau sekelilingnya, apalagi melihatku. Dia terus berjalan ke belakang kelas, menuju tempat duduknya di pojok paling belakang, dengan langkah kakinya yang lebar-lebar. Di belakangnya, Gavin berjalan sambil mengajak ngobrol, sepertinya membahas pertandingan sepakbola.

Aku kembali menyantap sarapanku dengan earphone yang masih menancap di telinga kanan. Lagu Boyfriend oleh Best Coast pun masih berputar, hampir selesai.

One day I'll make him mine

And we'll be together all the time

We'll sit and watch the sun rise

And gaze into each others eyes

And know that he knows

I know that he knows

That he wants to be my boyfriend.

Kenapa juga dia bersikap seperti itu? Pikirku. Hanya ramah kalau di luar sekolah. Padahal, kami baru menghabiskan banyak waktu bersama tempo hari. Setidaknya, bagiku, jalan-jalan ke Bukit Bintang berdua di hari ulang tahunku adalah suatu pengalaman yang sangat istimewa. Aku benar-benar bahagia dibuatnya. Mungkinkah aku yang harus ajak dia ngobrol duluan? Pikirku lagi. Atau mungkin, baginya, mengajak seseorang main ke Bukit Bintang adalah hal yang sangat biasa. Bukan istimewa. Bukan berarti apa-apa. Benar, mungkin begitu. Jadi, kuurungkan niatku untuk menyapa duluan dan mengajaknya ngobrol hari ini.

Ketika sarapanku hampir habis, Damita datang. Dia duduk di tempat duduknya, di sebelahku, membuka jajanan yang dibelinya dari kantin; nasi kuning lengkap dengan segala macam lauk-pauknya. Sementara dia makan dengan terburu-buru karena menyadari sepuluh menit lagi bel masuk akan berbunyi, dia mengeluarkan sesuatu dari dalam tasnya. Sebuah kotak berukuran sekitar kertas A5 yang dibungkus dengan kertas kado berwarna ungu tua hampir hitam dengan motif bintang-bintang emas. Dia menyodorkan kotak itu ke depan wajahku, sedangkan mulutnya masih mengunyah nasi kuning.

AtlasTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang