Seni Kontemporer dan Perkembangannya

662 36 8
                                    


Sejak kejadian tempo hari, Stefina terlihat malas membalas pesan-pesanku. Jawabannya singkat, tidak penuh antusias seperti biasanya, dan aku perlu berpikir keras untuk mencari topik menarik demi memancing antusiasnya, yang seharusnya tidak perlu lagi kulakukan. Biasanya, percakapan kami menyenangkan dan mengalir begitu saja. Aku sudah menelepon sehabis latihan futsal tadi untuk meminta maaf dan menjelaskan sejujur-jujur serta selengkap-lengkapnya mengenai apa yang terjadi dan latar belakang dari kejadian yang membuatnya kecewa itu. Tapi, dia malah bungkam dan hanya menanggapi dengan tawa pelan. Aku tidak tahu harus mengartikan tawanya sebagai tanda ia memaafkanku atau sejenis tawa sarkastis yang menyembunyikan kesal dan cemburu.

Karena aku peduli dengan perasaannya dan sudah berkali-kali meminta maaf, namun ia semakin terlihat seperti mengalihkan pembicaraan-aku mengirimi Karinta pesan. Aku yakin Stefina pasti curhat padanya. Dan, benar saja. Stefina curhat banyak sekali pada Karinta. Begini pesan jawaban dari Karinta yang isinya sangat panjang itu,

"Ya, dia kecewa dan bingung waktu lihat Ghea dibonceng lo. Begini, kalau gebetan lo masih jalan sama mantannya, memang lo percaya dia suka sama lo? Stefina ragu, jangan-jangan lo hanya jadiin dia semacam pelampiasan atau semacamnya. Dia jadi ragu sebenarnya lo masih ada rasa sama Ghea dan kepikiran jangan-jangan lo masih mau balikan sama dia."

Dugaanku sejak pertama benar. Stefina pasti berpikir begitu. Dasar Atlas bodoh.

Karinta melanjutkan, "Tapi, gue tahu lo nggak bermaksud begitu dan tenang, gue juga kenal Ghea dengan sangat baik. Gue tahu persis Ghea orangnya seperti apa."

Bukan hanya Karinta, satu sekolah pun tahu Ghea orangnya seperti apa. Seseorang yang merasa semua hal dapat berjalan sesuai kehendaknya dan orang-orang harus menurut di bawah kendalinya. Kemudian, Karinta menawarkan diri untuk membantu membujuk Stefina, yang langsung kutolak. Ini jelas tugasku untuk mengembalikan kepercayaannya. Sedempet apapun dia dengan Stefina, dia tidak perlu melakukan itu. Biar aku yang menyelesaikan masalahku dengannya. Jadi, percakapanku dengan Karinta di chat berakhir sudah.

Kuhela napas dalam, kemudian menyalakan lagu Oasis yang berjudul Don't Go Away. Aku memberanikan diri menanyakan pada Stefina apakah besok malam kami jadi bertemu, tapi butuh belasan menit untuk mendapatkan jawabannya dan jawabannya tidak memuaskan. Katanya, "Lihat besok.". Dua kata sederhana yang membuatku mendadak sangat frustasi. Lalu, aku mengirimkan sebuah link berisi video kelinci lucu yang kudapat dari Instagram, yang butuh waktu belasan menit juga untuk mendapatkan balasannya. Lagi-lagi, balasannya singkat dan tampak tidak berinisiatif memperpanjang obrolan, "Haha, iya, lucu banget.". Biasanya, dia senang sekali setiap kali melihat kelinci. Lagi-lagi juga, dia membuatku semakin frustasi dan merasa bersalah.

Aku memutar otak lima kali lebih keras demi mendapatkan topik yang lebih menarik, tapi terlanjur diselak oleh satu pesan darinya yang berisi, "Eh, gue tidur, ya. Capek." -yang juga sama sekali tidak biasanya. Ini baru pukul sembilan malam, biasanya dia masih bersmangat membalas chat-chat­ku hingga pukul setengah sebelas.

Tentu saja pesan terakhirnya membuktikan bahwa dia memang sengaja menghindar dan permintaan maafku tidak mempan. Sama sekali. Jelas juga hal itu yang membuatku kepikiran; bisa saja dia membatalkan janji kami besok malam, lalu perlahan-lahan menghindar, kemudian selamanya menjauh. Itu artinya, Atlas adalah laki-laki yang gagal. Aku memejamkan mata, berpikir lama, dan lagu Don't Go Away berganti dengan lagu Oasis berputar.

And I want to be there when you hit the ground
So don't go away, say what you say
But say that you'll stay
Forever and a day in the time of my life
'Cause I need more time, yes, I need more time
Just to make things right

AtlasTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang